Rabu, 17 Desember 2008

Fasakh

BAB II

PEMBAHASAN

1. FASAKH

A. Pengertian

Menurut etimologi الفسخ berasal dari kata فسخ berarti rusak dan فسخ العقد berarti pembatalan persetujuan. Fasakh adalah pemutusan ikatan perkawinan (atas inisiatif istri) karena suatu kesalahan/kelalaian pihak suami. Fasakh berarti mencabut, memutus, mengahapus.

Menurut terminologi Fasakh ialah membatalkan ikatan perkawinan melalui kuasa kadi dengan sebab-sebab tertentu tanpa ucapan talaq. Kedua-dua pasangan suami isteri tidak sanggup lagi untuk meneruskan perkawinan, dan sekiranya diteruskan juga akan menyebabkan keruntuhan rumah tangga.

B. Sebab dan Pelaksanaan

Berdasarkan pengertian diatas Fasakh dilakukan oleh isteri dengan mengajukan permohonan cerai melalui pengadilan agama disertakan bahan bukti yang konkrit baik berupa lisan maupun bentuk dokumen. Tetapi sebagian ulama' suami juga bisa melakukan Fasakh.

Fasakh dapat dilakukan apabila terdapat sebab yang tidak lagi memungkinkan bagi pasangan untuk melanjutkan rumah tangganya. Sebab terjadinya Fasakh itu bisa karena adanya sebab awal (batalnya akad) dan adanya sebab kemudian (permasalahan setelah akad).

...

Adanya sebab awal (batalnya akad) :

1. Diketahu bahwa pasangan suami isteri adalah saudara kandung (sesusuan)

2. Suami isteri masih kecil yang akad nikahnya diadakan oleh selain ayah, boleh melakukan khiyar baligh dan Fasakh baligh

3. Saksi yang tidak jelas

4. Ketika akad isteri yang masih dalam masa iddah talaq suami pertama

5. Tidak kafaah menurut golongan Syafi'i

6. Salah satu pasangan non muslim ketika akad

Adanya sebab kemudian (permasalahan setelah akad) :

1. Salah seorang dari suami atau isteri murtad

2. Suami yang kafir kemudian masuk islam tetapi isterinya tetap kafir. Lain halnya jika isteri ahli kitab maka tetap sah.

3. Suami telah melakukan salah satu perkara yang diharamkan sebab persemendaan seperti berzina dengan ibu mertua

4. Terdapat kecacatan pada salah satu pihak, penyakit belang, gila, penyakit kusta, 'anah, penyakit menular seperti syphilis, tbc, dll. Adanya daging tumbuh pada kelamin perempuan sehingga menghalangi maksud perkawinan (bersetubuh)

Para ulama' madzhab sepakat bahwa Fasakh terjadi karena adanya cacat pada suami atau pihak isteri, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis kecacatannya.

1) Menurut Imam Abu Hanifah hanya terdapat tiga cacat yaitu Al Jubb (putus kemaluan), Al Unah (impoten), Al Khisa' (kebirian)

2) Imam Malik dan As Syafi'i sependapat tentang empat cacat yaitu gila, kusta, sopak dan penyakit kemaluan yang menghalangi senggama.

3) Menurut golongan Hambali ialah gila, kusta, sopak, impoten, potong kemaluan, beser, bernanah kemaluan, botak kepala, busuk mulut dan banci.

4) Menurut Muhammad bin Hasan ialah Al Junun, Al Judzan (kusta), Al Barash (penyakit belang)

Imam Syafi'i, Imam Hambali, dan Imam Malik sepakat ada empat jenis cacat yaitu gila, kusta, sopak, dan penyakit kemaluan. Sedangkan Imam Hanafi ada tiga yaitu impoten, potong kemaluan, dan putusnya kedua pelernya. Akan tetapi dalam masalah cacat ini Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tidak tepat membatasi cacat tersebut dua, tiga, empat dst. Tetapi yang benar menurut beliau adalah setiap cacat yang menyebabkan pihak yang satu merugikan atau tidak menyukai pihak lain.

Disamping semua itu, Fasakh juga bisa terjadi karena sebab berikut:

1) Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, misalnya budak dengan merdeka, pezina dengan orang yang terpelihara dll.

2) Suami yang tidak mau memulangkan isterinya dan tidak mau memberi nafkah, sedangkan isterinya tidak rela.

3) Suami yang jelas kemiskinannya oleh beberapa saksi yang dipercaya sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian sederhana, tempat atau maskawinnya belum dibayarkan sebelum campur.

4) Penderitaan yang menimpa isteri.

Tentang memberi nafkah Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sepakat bahwa isteri berhak menuntut cerai apabila suami tidak memberikan nafkah wajibnya. Seperti dalam surat Al Baqoroh 229 :

الطَّلَاقُ مَرَتَانِ فَإِمْسَاكُ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٍ بِإِحْسَانٍ ...(البقرة 229)

Artinya :"Talaq (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Berdasarkan surat Al Baqoroh 231

... وَلَا تُمْسِكُوْ هُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوْا ... (البقرة 231)

Artinya :"… janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemadlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka … (umpanya memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung)

Berdasarkan sabda Rosulullah SAW

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لاضرار ولاضرارا

Jika diakui pengadilan boleh menjatuhkan perceraian karena suami, maka perceraian dengan cara Fasakh lebih tepat karena lebih membahayakan dan menyakitkan isteri daripada cacat tersebut. Akan tetapi menurut golongan Hanafiah pengadilan tidak boleh menjatuhkan perceraian karena alasan Fasakh, baik suami tidak mau memberikannya atau tidak mampu. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S At Thalaq :7

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاَتَهُ اللهُ لَايُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا مَا ءَاتَهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (الطلاق 7)

Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan" (Q.S At Thalaq 7)

Anjuran Allah SWT untuk menikah walaupun dalam keadaan fakir, sebagaimana termaktub dalam surat An-Nur: 32

وَأَنْكِحُوْا الأَيَّمَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَاءَ يُغْنِيْهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (النور 32)

Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian* diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S An Nur 32)

*Maksudnya hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang belum bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Adapun alasan yang lain adalah :

1) Tidak pernah diriwayatkan adanya seorang sahabatpun yang diceraikan Nabi Muhammad SAW dari isterinya karena kemiskinan,

2) Nabi Muhammad SAW pernah dimintai isterinya sesuatu yang tidak mampu beliau berikan, lalu beliau meninggalkan mereka selama 1 bulan. Demikian lebih besar kedzalimannya menurut cerai saat suami kesulitan nafkah.

Fasakh yang terjadi pederitaan yang menimpa isteri ada beberapa bentuk diantaranya :

1) Penganiayaan atau kekerasan kepada isteri

Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa isteri berhak menuntut cerai apabila suaminya membahayakan dirinya, seperti pemukulan, caci maki, dan perbuatan atau perkataan lain yang dirasa berat. Semua itu dengan syarat pembuktian dari isteri dan pengakuan dari suami. Akan tetapi jika pihak isteri tidak dapat membuktikan dan pihak suami tidak mengakui maka hakim tidak boleh menerima gugatan isteri tersebut.

2) Ghoibnya suami

(a) ghoibnya suami tanpa alasan yang diterima, (b) ghoibnya dengan maksud menyusahkan isteri, (c) ghoibnya suami itu berlangsung 1 tahun dan isteri merasa dibuat susah dan terputus beritanya.

Menurut Imam Asy Syafi'i bahwa ghoibnya suami belumlah dapat dijadikan isteri berhak menuntut cerai, sebab yang dapat dijadikan Fasakh adalah mu'sirnya suami baik ada maupun ghoib.

3) Suami dihukum penjara

Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa isteri berhak menuntut cerai jika suami menjalani hukuman penjara. Karena dengan dipenjaranya suami, menimbulkan penderitaan isteri dengan terpisah dari suaminya. Jika kesusahan itu terbukti maka pengadilan dapat menjatuhkan talaq ba'in.

C. Hikmah Fasakh

1. Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka teraniaya,

2. Menyadarkan kaum suami bahwa perceraian bukan hanya dimiliki secara mutlak oleh suami,

3. Menunjukkan keunggulan syari'at Allah SWT yang Maha Mengetahui akan keperluan hamba-Nya


2. KHULU'

A. Pengertian

Khulu' berasal dari kata "khal as tsaub" berarti melepaskan atau mengganti pakaian dari badan karena seseorang perempuan merupakan pakaian bagi kaum lelaki, begitu sebaliknya. Sebagaimana firman Allah Q.S Al Baqarah 187

... هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ... (البقرة 187)

Sedangkan khulu' menurut istilah ilmu fiqh adalah menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan isteri membayar iwadh kepada pemilik akad nikah (suami) dengan menggumamkan perkataan cerai atau khulu'. Iwadh bisa berupa pengembalian mahar oleh isteri kepada suami atau sejumlah barang yang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Ulama' Maliki menetapkan khulu' sebagai "al thalaq bil iwadh". Sedangkan ulama' Hanafi mengatakan bahwa khulu' berarti berakhirnya hubungan perkawinan yang sah baik dengan mengucapkan kata khulu' atau dengan kata lain yang mempunyai makna sama. Dan menurut ulama' Syafi'i khulu' adalah perceraian yang dituntut pihak isteri dengan membayar sesuatau dengan mengucapkan kata cerai atau khulu'

B. Dasar hukum

Adapun dasar dari disyari'atkan khulu' adalah surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi :

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَا أَلَا يُقِيْمَا حُدُوْدَاللهِ فَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأْولَئِكَ هُم الظَّالِمُوْنَ.

Adapun dasar hukum yang berasal dari hadist dikemukakan bahwa isteri Tsabit bin Qois bin Syam bernama Jamilah datang mengadu kepada Rosulullah SAW:

عن إبن عباس قال جائت إمرأة ثابت إبن قيس جائت الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يارسول الله إني ماعيب في خلق ولادين ولكني أكره الكفر في الإسلام. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أتريدين عليه حديفته؟ قالت نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إقبل الحديقة وطلقها تطليقة

Hukum asal khulu' ada yang berpendapat dilarang (haram), makruh, dan haram kecuali dlarurat. Ulama' Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum asal melakukan khulu' adalah makruh. Dia menjadi sunnah hukumnya apabila isteri tidak baik pergaulannya terhadap suaminya. Khulu' tidak dapat menjadi haram maupun wajib.

C. Syarat Rukun Khulu'

1. Kerelaan Dan Persetujuan

Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu' harus ada kerelaan dan persetujuan antara suami isteri agar tidak mengakibatkan kerugian diantara keduanya. Firman Allah SWT dalam surat An Nisaa' 19 :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَا أَتَيْتُمُوْهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَشِرُوْهُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى اَنْ تَكْرَهُ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Seorang isteri berhak mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan apabila ia merasa dirugikan haknya oleh suami, sedangkan suami tidak mau mengabulkan permintaannya. Hakim hendaklah memberi keputusan perceraian diantara keduanya apabila bukti yang dijadikan dasar gugatan serai tersebut jelas dan dapat diterima.

2. Suami

Suami harus orang baligh, berakal. Apabila suami bodoh, khulu' harus diwakilkan. Sedangkan menurut Hambali, khulu' sah apabila dilakukan oleh orang yang mumayyis.

3. Isteri yang dapat dikhulu'

Para ahli fiqh sepakat bahwa isteri yang dapat dikhulu' ialah orang yang sudah terjalin akad nikah dan mukallaf. Isteri yang belum mukallaf diajukan cerainya oleh wali. Adapun bagi isteri yang sakit berat maka boleh mengajukan permintaan khulu' kepada suaminya, para ahli fiqh sepakat akan hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat dalam menentukan iwadh yang harus diberikan isteri kepada suami bila isteri tesebut mempunyai harta banyak.


4. Iwadh

Mengenai jumlah iwadh, yang penting adalah persetujuan antara suami dan isteri. Apakah jumlah iwadh tersebut kurang, sama atau lebih dari mahar. Ketentuan jumlah iwadh tersebut tidak dinyatakan dalam Al Quran maupun Hadist, akan tetapi hany disebutkan secara umum sebagaimana dalam firman Allah SWT:

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا افْتَدَتْ بِهِ ... (البقرة 229)

Imam Hanafi berpendapat apabila wanita nusyus, maka dimakruhkan mengambil dari jumlah mahar. Sedangkan dari pihak suami, maka dimakruhkan mengambil sesuatupun, akan tetapi hukumnya sah. Sedangkan menurut Imam hambali dimakruhkan khulu' lebih besar dari jumlah mahar.

5. Waktu khulu'

Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu' boleh dijatuhkan pada masa haid, nifas, dan pada masa suci sebelum atau setelah dicampuri suami.

6. Shighat

Menurut Malikiyah shighat harus berupa ucapan yang shorih.

D. Lafadz-lafadz Khulu'

Menurut Hanafiah teradapat lima lafadz dalam mengucapkan khulu' yaitu: khulu', mubaro'ah, talaq, mufaraqah, dan jual beli. Sedangkan menurut Malikiyah ada empat lafadz yang digunakan yaitu: khulu', mubara'ah, shulkh, dan fidyah. Adapun Imam Syafi'i dan Hambali menyatakan khulu' sah dengan lafadz yang diucapkan secara sharih maupun kinayah dengan disertai dengan niat khulu'. Sharih menurut Imam Syafi'i adalah lafadz khulu' dan mafadah, sedangkan lafadz kinayah adalah Fasakh. Adapun sharih menurut Hanabilah adalah lafadz khulu', mafadah, dan Fasakh sedangkan kinayahnya adalah lafadz bara'ah.

E. Pelaksanaan Khulu'

Khulu' hanya dapat dimintai dalam keadaan tertentu saja. Sebagaimana sabda Nabi SAW "wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, diharamkan baginya harumnya bau syurga".

Perceraian dapat diberikan oleh hakim karena beberapa hal sebagai berikut :

1. Perlakuan menyakitkan yang terus menerus oleh suami terhadap isteri

2. Kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri tidak terpenuhi

3. Sakit jiwa

4. Ketidakberdayaan yang tidak bisa ditanggulangi

5. Suami pindah tempat tinggal tanpa sepengetahuan isteri

6. Sebab-sebab lain yang menurut hakim dapat dibenarkan untuk bercerai.

F. Akibat Khulu'

Iddah bagi isteri yang mengajukan khulu', menurut jumhur ulama sama dengan iddah perceraian biasa. Akan tetapi Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadist yang menyatakan bahwa Nabi SAW menetapkan hanya sebulan masa iddah bagi isteri yang mengajukan khulu'.

Selanjutnya, apabila ada wanita yang tengah sekarat dalam keadan iddahnya, khulu' tetap sah. Menurut Hanafi, suami kehilangan hak untuk meneerima apapun kecuali tiga hal berikut :

1. Sepertiga harta waris setelah lunas hutang-hutangnya

2. Jumlah ganti rugi yang disepakati karena khulu'

3. Harta miliknya sendiri dari warisan peninggalannya.

Akibat khulu' sama dengan talaq ba'in sughra, suami tidak mempunyai hak untuk merujuki bekas isterinya. Perkawinan yang baru harus dengan akad yang baru pula berdasarkan persetujuan masing-masing pihak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar