Sabtu, 29 November 2008

STOP BISNIS MILITER

STOP BISNIS MILITER

Demi Menjaga Fungsionalisme TNI

Pasukan militer Indonesia diketahui mempunyai kekuatan politis yang sangat besar, terutama semasa pemerintahan otoritarian Jendral Soeharto, dan sampai sekarang masih mempunyai pengaruh di masyarakat. Karena pasukan militer Indonesia disebar menurut susunan wilayah, sesuai dengan susunan administrasi pemerintahan sipil sampai ke tingkat lokal, sering ada interaksi antara angkatan bersenjata dengan masyarakat. Struktur ini membuka kesempatan lain bagi satuan militer dan tiap-tiap prajurit untuk mempergunakan posisi mereka dan memanfaatkan warga sipil. Dengan menggunakan wewenang mereka yang bersifat memaksa, pihak militer dapat mengembangkan atau melindungi hasrat-hasrat ekonomi mereka sendiri atau mitra kerja mereka.

Aparat militer Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam mencari dana yang terlepas dari dan berada diluar anggaran yang disediakan negara. Aparat militer ini memperoleh pendapatan dari bisnis-bisnis yang mereka miliki, jasa-jasa sewaaan yang dilakukan, dan jaringan perlindungan yang mereka dirikan . Diakui banyak pihak bahwa keterlibatan aparat militer Indonesia dalam kegiatan ekonomi merupakan praktek yang berbahaya yang memperlemah kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata dan memacu pelanggaran hak asasi manusia. Keterlibatan militer dalam kegiatan ekonomi juga mempertinggi tingkat kriminalitas dan korupsi, memperlemah perekonomian dan menyelewengkan fungsi aparat militer sendiri.

Oleh karena itu, bisnis militer harus segera diakhiri, karena selama ini terbukti bahwa keterlibatan militer di bidang ekonomi berdampak buruk bagi perekonomian negara secara umum. Selain kerap memicu terjadinya distorsi pasar, bisnis militer juga membuka peluang terjadinya praktik korupsi di tubuh institusi tersebut. Banyak kasus telah mencatat, militer berbisnis menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan bahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sehingga sama sekali tidak tercermin profesionalisme pada anggota militer.
Pada bulan September 2004, Parlemen Indonesia mengeluarkan Undang-udang No 34/2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung reformasi militer. Undang-undang ini, antara lain, melarang komersialisme militer dan mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengambil-alih semua bisnis militer selambat-lambatnya pada tahun 2009. Pasal 76 dari undang-undang ini menyatakan: “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini (yaitu pada bulan September 2004), Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung.” Ketentuan lain menyatakan bahwa “Tentara Profesional...Tidak Berbisnis” dan berisi larangan tegas bagi tentara untuk terlibat dalam kegiatan bisnis.
UU tersebut ternyata membawa angin baru reformasi militer. Salah satu pasal yang mendapat dukungan dari masyarakat adalah Pasal 76 yang mengatur tentang larangan bagi militer untuk berbisnis. TNI diberi kesempatan selama lima tahun untuk menghapus secara total militer yang mereka jalankan. Alasan larangan militer bagi militer itu adalah agar TNI kembali pada fungsinya sebagai pasukan tempur guna mempertahankan negara. Selain itu, bisnis militer dianggap telah mendistorsi hal-hal yang seharusnya dilakukan sipil dan dinilai kurang baik untuk proses demokratisasi di negara ini.
Dalam undang-undang tersebut, TNI seharusnya tidak lagi melakukan aktivitas ekonomi. Para pemimpin TNI telah beberapa kali mengemukakan komitmen mereka untuk mau bekerjasama dan menyerahkan bisnis mereka kepada negara sebelum tahun 2009. Sehingga menurut hemat penulis, komitmen para petinggi TNI tersebut harus diwujudkan dengan segera diakhirinya bisnis militer. Karena sebagaimana pengakuan  TNI, keterlibatan militer di bidang ekonomi hanya akan menyebabkan kemerosotan profesionalitas militer. Sehingga fungsi utama anggota militer sebagai pasukan tempur dalam mempertahankan negara tidak akan maksimal bahkan tidak akan terwujud.
Read more / Selengkapnya...