Minggu, 21 Desember 2008

Bahaya khalwat

Tidak bisa dipungkiri terjadinya hubungan yang sakral antara perempuan dan laki-laki lawan jenis pada zaman modern ini. Walaupun tidak ada ikatan sah seperti halnya perkawinan maupun hubungan keluarga/mahrom, keadaan berdua dengan lawan jenis sudah menjadi hal yang bukan rahasia lagi, bukan suatu aib menurut pribadi yang melakukan. Berduaan dengan lawan jenis/khalwat ini ada kalanya diperbolehkan dan juga diharamkan.
...
Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama seorang wanita namun masih dalam batas terlihat oleh khlayak umum, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari 9/413).
Khalwat yang diharamkan merupakan perbuatan (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia. Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahrom sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria -jika ternyata ia adalah mahrom sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, ‘Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan.’”
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:
والخلوة المحرمة هي ما كانت مع إغلاق لدار أو حجرة أو سيارة ونحو ذلك أو مع استتار عن الأعين، فهذه خلوة محرمة وكذا ضبطها الفقهاء
“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”
Dari definisi tersebut jelas bahwasannya berduaan antara lawan jenis yang bukan mahrom dan menimbulkan kecurigaan pada orang yang melihatnya adalah haram. Namun jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka??”
Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat diantara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khalwat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahrom) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك إربه كما كان النبي يملك إربه “Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menahan syahwatnya.” (Fathul Bari 9/414).
Para pembaca yang budiman, ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap perkara yang dinginkannya berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)
Adab Bergaul Antara Lawan Jenis
Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia, bagaimana pergaulan antara lawan jenis. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama kita adalah:
1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendahlah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 31)
Dari ayat ini telah jelas adanya larangan untuk saling memandang dengan lawan jenis yang disertai syahwat. Fenomena sekarang ini tidak bisa dipungkiri ketika dua insan lawan jenis sedang berduaan pasti diantara mereka ada yang memandang dan dipandang, dan dalam benak mereka pasti juga terdapat rasa syahwat walaupun itu sekedar pandangan. Sebab dari pandangan tersebut orang yang ketiga yaitu syaithan akan menggoda dan merayunya. Seperti dalam hadist yang terpaparkan pada keterangan selanjutnya
2. Tidak berdua-duaan
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil jilid 6 no. 1813)
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك
“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim 2/975)
Dari hadist tersebut telah jelas bahwasannya berdua-duaan selain dengan mahrom adalah dilarang dan diharamkan sebab akan terjadi fitnah-fitnah yang membahayakan.
3. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan)
Jika memandang saja terlarang, tentu bersentuhan lebih terlarang karena godaannya tentu jauh lebih besar. Maka dari beberapa adab pergaulan tersebut telah jelas bahwa yang terjadi pada zaman modern sekarang ini, yaitu keadaan berdua-duan dengan lawan jenis adalah diharamkan, sebab apa yang mereka lakukan maupun mereka bicarakan sangat jauh dari syariat islam. Fenomena sekarang berdua-duaan antara lawan jenis adalah membicarakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan syariat islam. Lebih dari itu bahkan adapula yang bercumbu rayu walaupun dengan dasar suka sama suka bukan ikatan suami istri sebagaimana dihalalkan oleh agama islam.
Read more / Selengkapnya...

Rabu, 17 Desember 2008

Fasakh

BAB II

PEMBAHASAN

1. FASAKH

A. Pengertian

Menurut etimologi الفسخ berasal dari kata فسخ berarti rusak dan فسخ العقد berarti pembatalan persetujuan. Fasakh adalah pemutusan ikatan perkawinan (atas inisiatif istri) karena suatu kesalahan/kelalaian pihak suami. Fasakh berarti mencabut, memutus, mengahapus.

Menurut terminologi Fasakh ialah membatalkan ikatan perkawinan melalui kuasa kadi dengan sebab-sebab tertentu tanpa ucapan talaq. Kedua-dua pasangan suami isteri tidak sanggup lagi untuk meneruskan perkawinan, dan sekiranya diteruskan juga akan menyebabkan keruntuhan rumah tangga.

B. Sebab dan Pelaksanaan

Berdasarkan pengertian diatas Fasakh dilakukan oleh isteri dengan mengajukan permohonan cerai melalui pengadilan agama disertakan bahan bukti yang konkrit baik berupa lisan maupun bentuk dokumen. Tetapi sebagian ulama' suami juga bisa melakukan Fasakh.

Fasakh dapat dilakukan apabila terdapat sebab yang tidak lagi memungkinkan bagi pasangan untuk melanjutkan rumah tangganya. Sebab terjadinya Fasakh itu bisa karena adanya sebab awal (batalnya akad) dan adanya sebab kemudian (permasalahan setelah akad).

...

Adanya sebab awal (batalnya akad) :

1. Diketahu bahwa pasangan suami isteri adalah saudara kandung (sesusuan)

2. Suami isteri masih kecil yang akad nikahnya diadakan oleh selain ayah, boleh melakukan khiyar baligh dan Fasakh baligh

3. Saksi yang tidak jelas

4. Ketika akad isteri yang masih dalam masa iddah talaq suami pertama

5. Tidak kafaah menurut golongan Syafi'i

6. Salah satu pasangan non muslim ketika akad

Adanya sebab kemudian (permasalahan setelah akad) :

1. Salah seorang dari suami atau isteri murtad

2. Suami yang kafir kemudian masuk islam tetapi isterinya tetap kafir. Lain halnya jika isteri ahli kitab maka tetap sah.

3. Suami telah melakukan salah satu perkara yang diharamkan sebab persemendaan seperti berzina dengan ibu mertua

4. Terdapat kecacatan pada salah satu pihak, penyakit belang, gila, penyakit kusta, 'anah, penyakit menular seperti syphilis, tbc, dll. Adanya daging tumbuh pada kelamin perempuan sehingga menghalangi maksud perkawinan (bersetubuh)

Para ulama' madzhab sepakat bahwa Fasakh terjadi karena adanya cacat pada suami atau pihak isteri, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis kecacatannya.

1) Menurut Imam Abu Hanifah hanya terdapat tiga cacat yaitu Al Jubb (putus kemaluan), Al Unah (impoten), Al Khisa' (kebirian)

2) Imam Malik dan As Syafi'i sependapat tentang empat cacat yaitu gila, kusta, sopak dan penyakit kemaluan yang menghalangi senggama.

3) Menurut golongan Hambali ialah gila, kusta, sopak, impoten, potong kemaluan, beser, bernanah kemaluan, botak kepala, busuk mulut dan banci.

4) Menurut Muhammad bin Hasan ialah Al Junun, Al Judzan (kusta), Al Barash (penyakit belang)

Imam Syafi'i, Imam Hambali, dan Imam Malik sepakat ada empat jenis cacat yaitu gila, kusta, sopak, dan penyakit kemaluan. Sedangkan Imam Hanafi ada tiga yaitu impoten, potong kemaluan, dan putusnya kedua pelernya. Akan tetapi dalam masalah cacat ini Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tidak tepat membatasi cacat tersebut dua, tiga, empat dst. Tetapi yang benar menurut beliau adalah setiap cacat yang menyebabkan pihak yang satu merugikan atau tidak menyukai pihak lain.

Disamping semua itu, Fasakh juga bisa terjadi karena sebab berikut:

1) Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, misalnya budak dengan merdeka, pezina dengan orang yang terpelihara dll.

2) Suami yang tidak mau memulangkan isterinya dan tidak mau memberi nafkah, sedangkan isterinya tidak rela.

3) Suami yang jelas kemiskinannya oleh beberapa saksi yang dipercaya sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian sederhana, tempat atau maskawinnya belum dibayarkan sebelum campur.

4) Penderitaan yang menimpa isteri.

Tentang memberi nafkah Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sepakat bahwa isteri berhak menuntut cerai apabila suami tidak memberikan nafkah wajibnya. Seperti dalam surat Al Baqoroh 229 :

الطَّلَاقُ مَرَتَانِ فَإِمْسَاكُ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٍ بِإِحْسَانٍ ...(البقرة 229)

Artinya :"Talaq (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Berdasarkan surat Al Baqoroh 231

... وَلَا تُمْسِكُوْ هُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوْا ... (البقرة 231)

Artinya :"… janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemadlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka … (umpanya memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung)

Berdasarkan sabda Rosulullah SAW

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لاضرار ولاضرارا

Jika diakui pengadilan boleh menjatuhkan perceraian karena suami, maka perceraian dengan cara Fasakh lebih tepat karena lebih membahayakan dan menyakitkan isteri daripada cacat tersebut. Akan tetapi menurut golongan Hanafiah pengadilan tidak boleh menjatuhkan perceraian karena alasan Fasakh, baik suami tidak mau memberikannya atau tidak mampu. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S At Thalaq :7

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاَتَهُ اللهُ لَايُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا مَا ءَاتَهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (الطلاق 7)

Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan" (Q.S At Thalaq 7)

Anjuran Allah SWT untuk menikah walaupun dalam keadaan fakir, sebagaimana termaktub dalam surat An-Nur: 32

وَأَنْكِحُوْا الأَيَّمَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَاءَ يُغْنِيْهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (النور 32)

Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian* diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S An Nur 32)

*Maksudnya hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang belum bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Adapun alasan yang lain adalah :

1) Tidak pernah diriwayatkan adanya seorang sahabatpun yang diceraikan Nabi Muhammad SAW dari isterinya karena kemiskinan,

2) Nabi Muhammad SAW pernah dimintai isterinya sesuatu yang tidak mampu beliau berikan, lalu beliau meninggalkan mereka selama 1 bulan. Demikian lebih besar kedzalimannya menurut cerai saat suami kesulitan nafkah.

Fasakh yang terjadi pederitaan yang menimpa isteri ada beberapa bentuk diantaranya :

1) Penganiayaan atau kekerasan kepada isteri

Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa isteri berhak menuntut cerai apabila suaminya membahayakan dirinya, seperti pemukulan, caci maki, dan perbuatan atau perkataan lain yang dirasa berat. Semua itu dengan syarat pembuktian dari isteri dan pengakuan dari suami. Akan tetapi jika pihak isteri tidak dapat membuktikan dan pihak suami tidak mengakui maka hakim tidak boleh menerima gugatan isteri tersebut.

2) Ghoibnya suami

(a) ghoibnya suami tanpa alasan yang diterima, (b) ghoibnya dengan maksud menyusahkan isteri, (c) ghoibnya suami itu berlangsung 1 tahun dan isteri merasa dibuat susah dan terputus beritanya.

Menurut Imam Asy Syafi'i bahwa ghoibnya suami belumlah dapat dijadikan isteri berhak menuntut cerai, sebab yang dapat dijadikan Fasakh adalah mu'sirnya suami baik ada maupun ghoib.

3) Suami dihukum penjara

Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa isteri berhak menuntut cerai jika suami menjalani hukuman penjara. Karena dengan dipenjaranya suami, menimbulkan penderitaan isteri dengan terpisah dari suaminya. Jika kesusahan itu terbukti maka pengadilan dapat menjatuhkan talaq ba'in.

C. Hikmah Fasakh

1. Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka teraniaya,

2. Menyadarkan kaum suami bahwa perceraian bukan hanya dimiliki secara mutlak oleh suami,

3. Menunjukkan keunggulan syari'at Allah SWT yang Maha Mengetahui akan keperluan hamba-Nya


2. KHULU'

A. Pengertian

Khulu' berasal dari kata "khal as tsaub" berarti melepaskan atau mengganti pakaian dari badan karena seseorang perempuan merupakan pakaian bagi kaum lelaki, begitu sebaliknya. Sebagaimana firman Allah Q.S Al Baqarah 187

... هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ... (البقرة 187)

Sedangkan khulu' menurut istilah ilmu fiqh adalah menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan isteri membayar iwadh kepada pemilik akad nikah (suami) dengan menggumamkan perkataan cerai atau khulu'. Iwadh bisa berupa pengembalian mahar oleh isteri kepada suami atau sejumlah barang yang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Ulama' Maliki menetapkan khulu' sebagai "al thalaq bil iwadh". Sedangkan ulama' Hanafi mengatakan bahwa khulu' berarti berakhirnya hubungan perkawinan yang sah baik dengan mengucapkan kata khulu' atau dengan kata lain yang mempunyai makna sama. Dan menurut ulama' Syafi'i khulu' adalah perceraian yang dituntut pihak isteri dengan membayar sesuatau dengan mengucapkan kata cerai atau khulu'

B. Dasar hukum

Adapun dasar dari disyari'atkan khulu' adalah surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi :

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَا أَلَا يُقِيْمَا حُدُوْدَاللهِ فَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأْولَئِكَ هُم الظَّالِمُوْنَ.

Adapun dasar hukum yang berasal dari hadist dikemukakan bahwa isteri Tsabit bin Qois bin Syam bernama Jamilah datang mengadu kepada Rosulullah SAW:

عن إبن عباس قال جائت إمرأة ثابت إبن قيس جائت الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يارسول الله إني ماعيب في خلق ولادين ولكني أكره الكفر في الإسلام. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أتريدين عليه حديفته؟ قالت نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إقبل الحديقة وطلقها تطليقة

Hukum asal khulu' ada yang berpendapat dilarang (haram), makruh, dan haram kecuali dlarurat. Ulama' Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum asal melakukan khulu' adalah makruh. Dia menjadi sunnah hukumnya apabila isteri tidak baik pergaulannya terhadap suaminya. Khulu' tidak dapat menjadi haram maupun wajib.

C. Syarat Rukun Khulu'

1. Kerelaan Dan Persetujuan

Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu' harus ada kerelaan dan persetujuan antara suami isteri agar tidak mengakibatkan kerugian diantara keduanya. Firman Allah SWT dalam surat An Nisaa' 19 :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَا أَتَيْتُمُوْهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَشِرُوْهُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى اَنْ تَكْرَهُ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Seorang isteri berhak mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan apabila ia merasa dirugikan haknya oleh suami, sedangkan suami tidak mau mengabulkan permintaannya. Hakim hendaklah memberi keputusan perceraian diantara keduanya apabila bukti yang dijadikan dasar gugatan serai tersebut jelas dan dapat diterima.

2. Suami

Suami harus orang baligh, berakal. Apabila suami bodoh, khulu' harus diwakilkan. Sedangkan menurut Hambali, khulu' sah apabila dilakukan oleh orang yang mumayyis.

3. Isteri yang dapat dikhulu'

Para ahli fiqh sepakat bahwa isteri yang dapat dikhulu' ialah orang yang sudah terjalin akad nikah dan mukallaf. Isteri yang belum mukallaf diajukan cerainya oleh wali. Adapun bagi isteri yang sakit berat maka boleh mengajukan permintaan khulu' kepada suaminya, para ahli fiqh sepakat akan hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat dalam menentukan iwadh yang harus diberikan isteri kepada suami bila isteri tesebut mempunyai harta banyak.


4. Iwadh

Mengenai jumlah iwadh, yang penting adalah persetujuan antara suami dan isteri. Apakah jumlah iwadh tersebut kurang, sama atau lebih dari mahar. Ketentuan jumlah iwadh tersebut tidak dinyatakan dalam Al Quran maupun Hadist, akan tetapi hany disebutkan secara umum sebagaimana dalam firman Allah SWT:

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا افْتَدَتْ بِهِ ... (البقرة 229)

Imam Hanafi berpendapat apabila wanita nusyus, maka dimakruhkan mengambil dari jumlah mahar. Sedangkan dari pihak suami, maka dimakruhkan mengambil sesuatupun, akan tetapi hukumnya sah. Sedangkan menurut Imam hambali dimakruhkan khulu' lebih besar dari jumlah mahar.

5. Waktu khulu'

Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu' boleh dijatuhkan pada masa haid, nifas, dan pada masa suci sebelum atau setelah dicampuri suami.

6. Shighat

Menurut Malikiyah shighat harus berupa ucapan yang shorih.

D. Lafadz-lafadz Khulu'

Menurut Hanafiah teradapat lima lafadz dalam mengucapkan khulu' yaitu: khulu', mubaro'ah, talaq, mufaraqah, dan jual beli. Sedangkan menurut Malikiyah ada empat lafadz yang digunakan yaitu: khulu', mubara'ah, shulkh, dan fidyah. Adapun Imam Syafi'i dan Hambali menyatakan khulu' sah dengan lafadz yang diucapkan secara sharih maupun kinayah dengan disertai dengan niat khulu'. Sharih menurut Imam Syafi'i adalah lafadz khulu' dan mafadah, sedangkan lafadz kinayah adalah Fasakh. Adapun sharih menurut Hanabilah adalah lafadz khulu', mafadah, dan Fasakh sedangkan kinayahnya adalah lafadz bara'ah.

E. Pelaksanaan Khulu'

Khulu' hanya dapat dimintai dalam keadaan tertentu saja. Sebagaimana sabda Nabi SAW "wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, diharamkan baginya harumnya bau syurga".

Perceraian dapat diberikan oleh hakim karena beberapa hal sebagai berikut :

1. Perlakuan menyakitkan yang terus menerus oleh suami terhadap isteri

2. Kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri tidak terpenuhi

3. Sakit jiwa

4. Ketidakberdayaan yang tidak bisa ditanggulangi

5. Suami pindah tempat tinggal tanpa sepengetahuan isteri

6. Sebab-sebab lain yang menurut hakim dapat dibenarkan untuk bercerai.

F. Akibat Khulu'

Iddah bagi isteri yang mengajukan khulu', menurut jumhur ulama sama dengan iddah perceraian biasa. Akan tetapi Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadist yang menyatakan bahwa Nabi SAW menetapkan hanya sebulan masa iddah bagi isteri yang mengajukan khulu'.

Selanjutnya, apabila ada wanita yang tengah sekarat dalam keadan iddahnya, khulu' tetap sah. Menurut Hanafi, suami kehilangan hak untuk meneerima apapun kecuali tiga hal berikut :

1. Sepertiga harta waris setelah lunas hutang-hutangnya

2. Jumlah ganti rugi yang disepakati karena khulu'

3. Harta miliknya sendiri dari warisan peninggalannya.

Akibat khulu' sama dengan talaq ba'in sughra, suami tidak mempunyai hak untuk merujuki bekas isterinya. Perkawinan yang baru harus dengan akad yang baru pula berdasarkan persetujuan masing-masing pihak.


Read more / Selengkapnya...

Senin, 01 Desember 2008

Saksi Nikah

Saksi Nikah

1. Teks Hadist
Hadist tentang saksi sangat banyak jumlahnya, namun terkait hal saksi dalam sebuah pernikahan tidak sedikit pula para sahabat dan perowi hadist yang meriwayatkannya. Diantaranya adalah Imam Daruquthniy. Dalam kajian hadist saksi ini maka diambil salah satu hadist utama yang diriwayatkan oleh Daruquthniy sebagai berikut :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبَزَّارُ وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ الْعَبَّاسِ الْوَرَّاقُ قَالاَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّةَ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ بَكَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَرَّرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ ».(رواه الدارقطنى)
Menceritakan Ya’kub bin Ibrahim al Bazzaar dan Isma’il bin al Abbas al Waraq mereka berkata, menceritakan Umar bin Sibbah menceritakan Bakr bin Bakkaar menceritakan ‘Abdullah bin Muharrar dari al Hasan dari Imron bin Hushaini dari Abdullah bin Mas’ud berkata, Rosulullah SAW bersabda: “ tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi” (H.R Daruquthniy)

2. Hadist pendukung
Dalam hadist pendukung ini meliputi hadist-hadist yang mempunyai kesamaan makna, redaksi maupun hadist yang bisa menguatkan, menjelaskan dan juga membandingkan sehingga diketahui maksud dan pemahaman pada hadist utama serta kekuatan hadist dalam segi makna, matan dan sanadnya. Hadist-hadist tersebut antara lain :
...
Sunan Dar al Quthniy Juz 8 hal.325
3578 - حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو خُرَاسَانَ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ السَّكَنِ ح وَأَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحُسَيْنِ الْعَلاَّفُ وَعُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ السَّمَّاكُ قَالُوا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى سَعْدٍ قَالاَ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ هِشَامٍ التَّمَّارُ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ زُهَيْرٍ حَدَّثَنَا نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ ».
Rosulullah bersabda : “Tidak ada peernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”(H.R Daruquthniy)

Sunan Dar al Quthniy juz 8 hal.328
3580 - حَدَّثَنَا أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ سِنَانٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ ».
Rosulullah bersabda : “Tidak ada peernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”

Sunan Tirmdzi Juz 4 hal.290
1022 - حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَغَايَا اللَّاتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ
Rosulullah bersabda : ”Pelacur-pelacur adalah mereka yang menikahkan diri tanpa saksi”. (H.R Tirmidzi)

Muwatho’ Imam Malik Juz 4 hal.57
982 - و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فَقَالَ هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ
”Malik dalam Muwaththa’ dari Abi Zubair al-Makki. Bahwasanya pernah diajukan kepada Umar bin Khatab dihadapkan suatu pernikahan yang tidak disaksikan melainkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan maka jawab Umar: ”Nikah ini adalah nikah sirri dan tidak diperbolehkan, seandainya saya menemuinya maka saya akan merajamnya”.

3. Mufrodat
لا نكاح : Tida ada nikah
الا بولي : Kecuali dengan adanya wali
وشاهدي : Dan dua orang saksi
عدل : Yang adil

4. Takhrij al Hadist
-1-
الاسم : عبد الله بن مسعود بن غافل بن حبيب الهذلى ، أبو عبد الرحمن (صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم)
الطبقة : 1 : صحابى
الوفاة : 32 أو 33 هـ بـ المدينة
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صحابى
رتبته عند الذهبي : صحابى ( قال : من السابقين الأولين )
1. Abdullah bin Mas’ud bin Ghofil bin Habib Al Hadzali
Riwayat : Abdullah bin Mas’ud bin Ghofil bin Habib Al Hadzali, Kuniyahnya Al Hadzali, laqabnya adalah Abu Abdir Rahman. Merupakan golongan sahabat, beliau wafat pada 32 atau 33 Hijriyah di Madinah.
Gurunya : Rosulullah SAW, Su’ud bin Mu’adz Al Anshori, Shofwan bin ‘Asal Al Marodiy, Umar bin Khitab. Guru-gurunya termasuk Golongan sahabat semuanya.
Muridnya : ‘Imron bin Khushaini, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dll.
Kredibilitas : Sebagai seorang sahabat beliau tidak lagi diragukan keadilannya dan sikap kealimannya.
-2-
الاسم : عمران بن حصين بن عبيد بن خلف الخزاعى ، أبو نجيد ( قضى بالكوفة )
الطبقة : 1 : صحابى
الوفاة : 52 هـ بـ البصرة
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صحابى ( قال : أسلم عام خيبر و صحب )
رتبته عند الذهبي : صحابى ( قال : أسلم مع أبى هريرة ، بعثه عمر إلى البصرة ليفقههم ، و كانت الملائكة تسلم عليه )
2. ‘Imron bin Hushaini bin ‘Ubaid bin Khilaf Al Khuzaa’iy
Riwayat : ‘Imron bin Hushaini bin ‘Ubaid bin Khilaf Al Khuzaa’iy, laqabnya adalah Abu Najiid. Merupakan golongan sahabat, beliau wafat pada 25 Hijriyah di Basyrah.
Gurunya : Rosulullah SAW, Abdullah bin Mas’ud, Mu’qol bin Yasar
Muridnya : Al Hasan Al Bashri, Qotadah, Zararah bin Ufa
Kredibilitas : Menurut Ibn Hajar dan Al Dzahabi termasuk golongan sahabat, beliau masuk islam bersama Abu Hurairah, beliau juga sebagai hakim di Kuffah.
-3-
الاسم : الحسن بن أبى الحسن : يسار البصرى ، الأنصارى مولاهم أبو سعيد ، مولى زيد بن ثابت ، و يقال مولى جابر بن عبد الله
الطبقة : 3 : من الوسطى من التابعين
الوفاة : 110 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة فقيه فاضل مشهور ، و كان يرسل كثيرا و يدلس
رتبته عند الذهبي : الإمام ، كان كبير الشأن ، رفيع الذكر ، رأسا فى العلم و العمل
3. Al Hasan bin Abi Al Hasan.
Riwayat : Al Hasan bin Abi Al Hasan, laqabnya adalah Yasar Al Basriy. Merupakan golongan Tabi’in, beliau wafat pada 110 Hijriyah.
Gurunya : ‘Imron bin Khushaini, Umar bin Yaasir, Al Ahnaf bin Qois dll.
Muridnya : Qotadah bin Da’amah, Qurrah bin Kholid, Malik bin Dinar dll.
Kredibilitas : Menurut Ibn Hajar beliau termasuk Tsiqqah dan cerdas sekaligus masyhur. Al Mazzi dalam kitab At Tahdiib mengatakan bahwa ia termasuk orang yang Fasih, beliau adalah putra dari Khirah yang merupakan tuannya Ummu Salamah istri Rosul.
-4-
الاسم : قتادة بن دعامة بن قتادة ، و يقال قتادة بن دعامة بن عكابة ، السدوسى ، أبو الخطاب البصرى
المولد : 60 هـ أو 61 هـ
الطبقة : 4 : طبقة تلى الوسطى من التابعين
الوفاة : 100 و بضع عشرة هـ بـ واسط
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة ثبت
رتبته عند الذهبي : الحافظ
4. Qotadah bin Da’amah bin Qotadah
Riwayat : Qotadah bin Da’amah bin Qotadah, Laqobnya adalah Abu Al Khithab Al Basyri. Beliau termasuk tingkatan ke empat dari golongan tabi’in, beliau lahir tahun 60 Hijriyah dan wafat pada 100 Hijriyah di Wasith.
Gurunya : Al Hasan bin Hasan, Al Hasan Al Basyri, Anas bin Malik, Habib bin Salim dll
Muridnya : Abdullah bin Muharrar, Umar bin Ibrahim, Ibn Umar Al Auzaiy dll.
Kredibilitas : Menurut Ibn Hajar adalah tsiqqah as subut dan juga al dzahabi mengatakan al hafid (kuat hafalannya)
-5-
الاسم : عبد الله بن محرر العامرى الجزرى الحرانى ، و يقال الرقى ( قاضى الجزيرة )
الطبقة : 7 : من كبار أتباع التابعين
الوفاة : فى خلافة أبى جعفر
روى له : ق ( ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : متروك
رتبته عند الذهبي : قال البخارى : منكر الحديث
5. Abdullah bin Muharrar
Riwayat : Abdullah bin Muharrar Al Amiriy al Juzariy al hiraniy, laqobnya al roqiy, termasuk pembesar tabi’ut tabi’in.
Gurunya : Qotadah, Hasan Al Basyri, Yahya bin Abi Katsir.
Muridnya : Hatim bin Isma’il, Yahya bin Abdullah, Abdul Razaq bin Hamam dll.
Kredibilitas : Al Mazziy mengatakan tidak tsiqqah dan juga al ghofil (pelupa), menurut ibn Hajar matruk, Bukhori mengatakan beliau termasuk munkarul Hadist

Dari Sanad Lain:
-1-
الاسم : عمران بن ملحان و يقال ابن تيم و يقال ابن عبد الله ، أبو رجاء العطاردى البصرى ( مشهور بكنيته ) ، و قيل اسمه عطارد بن برز
الطبقة : 2 : من كبار التابعين
الوفاة : 105 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة
رتبته عند الذهبي : عالم عامل نبيل
1. Imron bin Mulhan
Riwayat : Imron bin Mulhan, disebut juga Ibnu Taim juga dikenal dengan nama Ibnu Abdillah, terkenal dengan kuniyah Abu Rojak al Athoriy al Bashri, ada juga yang menyebutnya Athaarid bin Baraz. Beliau wafat pada tahun 105 H, termasuk golongan pembesar tabi’in.
Gurunya : Abdullah bin Abbas, Imron bin Khushaini, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, dll.
Muridnya : Al Muhajir, Jarir bin Hajim, al Ja’du Abu Usman, dll
Kredibilitas : Ishaq bin Mansyur, Yahya bin Muayan, Abu Zaroah mengataknya Tsiqah, Al Mazziy menyebutkan beliau melihan masa Rosulullah akan tetapi Rosul tidak melihatnya.
-2-
الاسم : عبيد الله بن القبطية الكوفى ، لقبه المهاجر ( حكاه الدارقطنى )
الطبقة : 4 : طبقة تلى الوسطى من التابعين
روى له : ى م د س ( البخاري في جزء رفع اليدين - مسلم - أبو داود - النسائي )
رتبته عند ابن حجر : ثقة
رتبته عند الذهبي : وثقه ابن معين
2. Ubaidillah bin al Qibtiyah al kuufiy
Riwayat : Ubaidillah bin al Qibtiyah al kuufiy, laqobnya adalah Al Muhajir, menceritakan padanya Dar Al Quthniy. Merupakan level ke empat kelanjutan dari wasthi dari tabiin.
Gurunya : Abu Rojak al Athoriy, Jabir bin Tsamroh, Ummu Salamah, dll
Muridnya : Faraj al Khajaaz, Mas’ur bin Kadam, Abdul Aziz bin Rofik dll.
Kredibilitas : Ibnu Hajar mengatakannya Tsiqah, begitu pula yahya bin muayan.

Sanad lain :
-1-
الاسم : عائشة بنت أبى بكر : الصديق التيمية ، أم المؤمنين ، أم عبد الله ( و أمها أم رومان بنت عامر بن عويمر بن عبد شمس بن عتاب )
الطبقة : 1 : صحابية
الوفاة : 57 هـ على الصحيح ، و قيل 58 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صحابية ( قال ابن حجر : أم المؤمنين ، أفقه النساء مطلقا ، و أفضل أزواج النبى صلى الله عليه وسلم إلا خديجة )
رتبته عند الذهبي : صحابية ( قال : أم المؤمنين ، أفقه نساء الأمة ، و مناقبها جمة )

-2-
الاسم : عبد الله بن الزبير بن العوام القرشى الأسدى ، أبو بكر ، و يقال أبو خبيب ، ( و أمه أسماء بنت أبى بكر الصديق )
المولد : 1 هـ بـ المدينة
الطبقة : 1 : صحابى
الوفاة : 73 هـ بـ مكة
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صحابى ( قال : كان أول مولود فى الإسلام بالمدينة من المهاجرين )
رتبته عند الذهبي : أمير المؤمنين
-3-
الاسم : عباد بن عبد الله بن الزبير بن العوام القرشى الأسدى المدنى ، ( والد يحيى بن عباد )
الطبقة : 3 : من الوسطى من التابعين
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة
رتبته عند الذهبي : كان كبير القدر

-4-
الاسم : هشام بن عروة بن الزبير بن العوام القرشى الأسدى ، أبو المنذر ، و قيل أبو عبد الله المدنى
الطبقة : 5 : من صغار التابعين
الوفاة : 145 أو 146 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة فقيه ربما دلس
رتبته عند الذهبي : أحد الأعلام ، قال أبو حاتم : ثقة إمام فى الحديث
Sanad lain
-1-
الاسم : عبد الله بن عباس بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف القرشى الهاشمى أبو العباس المدنى ( ابن عم رسول الله صلى الله عليه )
المولد : بـ الشعب
الطبقة : 1 : صحابى
الوفاة : 68 هـ بـ الطائف
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صحابى
رتبته عند الذهبي : صحابى ( قال : ترجمان القرآن )

-2-
الاسم : جابر بن زيد الأزدى اليحمدى ، أبو الشعثاء الجوفى البصرى
الطبقة : 3 : من الوسطى من التابعين
الوفاة : 93 هـ و يقال 103 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة فقيه
رتبته عند الذهبي : الإمام
-3-
الاسم : قتادة بن دعامة بن قتادة ، و يقال قتادة بن دعامة بن عكابة ، السدوسى ، أبو الخطاب البصرى
المولد : 60 هـ أو 61 هـ
الطبقة : 4 : طبقة تلى الوسطى من التابعين
الوفاة : 100 و بضع عشرة هـ بـ واسط
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة ثبت
رتبته عند الذهبي : الحافظ
-4-
الاسم : سعيد بن أبى عروبة : مهران العدوى ، أبو النضر ، اليشكرى مولاهم ، البصرى
الطبقة : 6 : من الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة : 156 هـ و قيل 157 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة حافظ ، له تصانيف ، كثير التدليس ، و اختلط ، و كان من أثبت الناس فى قتادة
رتبته عند الذهبي : أحد الأعلام ، قال أحمد كان يحفظ لم يكن له كتاب ، و قال ابن معين هو من أثبتهم فى قتادة ، و قال أبو حاتم هو قبل أن يختلط ثقة
-5-
الاسم : عبد الأعلى بن عبد الأعلى بن محمد و قيل ابن شراحيل ، القرشى البصرى السامى ، أبو محمد ، و لقبه أبو همام
الطبقة : 8 : من الوسطى من أتباع التابعين
الوفاة : 189 هـ
روى له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة
رتبته عند الذهبي : ثقة ، لكنه قدرى
-6-
الاسم : يوسف بن حماد المعنى ، أبو يعقوب البصرى
الطبقة : 10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة : 245 هـ
روى له : م ت س ق ( مسلم - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة
رتبته عند الذهبي : لم يذكرها

















5. I’tibar hadist
Berdasarkan data diatas hadist terputus pada Abdullah bin Muharrar, sehingga dari murid-murid beliau tidak ada yang sampai pada Daruquthniy. Sebab dari sanad tersebut sudah terputus. Oleh karena itu hadist ini termasuk hadist matruk sebab sebagian sanad adalah al ghofil (pelupa) misalnya adalah Abdullah bin Muharrar, dan juga ada yang mengatakan marfu’ sebab jatuhnya sebagian sanad , yang mana terputus pada beliau juga Abdullah bin Muharrar.
Namun dilihat dari segi sanad yang lain, hadist tersebut bisa bisa naik derajatnya dari marfu’ menjadi hasan lighoiri dengan adanya sanad yang termasuk sahabat dan lebih dari tiga sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut, misalnya sahabat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Imron bin Khushoini.
Dengan hadist pendukung yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, maka kedudukan atau penggunaan hadist ini sebagai hujjah bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga memang dalam sebuah pernikahan disyaratkan dengan adanya dua orang saksi.

6. Makna Ijmali
Dari hadist yang diriwayatkan oleh Daruquthniy tersebut diatas dapat dipahami bahwasannya dalam sebuah pernikahan bisa dianggab sah dan memenuhi persyaratan jika terdapat seorang wali dan dua orang saksi. Karena lazimnya saksi merupakan sebagai syarat sah dalam suatu pernikahan. Namun Imam Maliki menganggab 2 saksi tersebut sebagai rukun nikah.

7. Makna Tafshili
لانكاح : (tidak sah suatu pernikahan) La mempunyai tiga faedah, adakalanya la nahi, la zaidah, dan la nafi. Sedangkan la pada hadist ini menunjukkan la yang berfaedah sebagai la nafi maknanya tidak. Dikarenakan setelah lafadz la merupakan jumlah ismiyah dalam arti terdapat mubtada’ dan khobar sehingga la ini beramal sebagaimana amal daripada ليس yaitu تنصب الاسم وترفع الخير menasabkan isimnya dan merofa’kan khobar laisa , khobarnya mahduf taqdiruhu maujuudun.
Kenafian tersebut menunjukkan keabasahan akad nikah dengan adanya wali dan dua orang saksi. لانكاح ini berkedudukan sebagai mustasna minhu yaitu yang dikecualikan. Di dalam ilmu balaghah kalimat hadist ini disebut al qoshru karena mengkhususkan suatu kejadian, yaitu nikah tidak sah kecuali adanya wali dan dua orang saksi.
الابولي وشاهدي : kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi. Illa merupakan adatul istisna’ بولي وشاهدي sebagai mustasna yaitu pengecualian dari mustasna minhu yaitu (La nikaha). Menurut Imam Asy Safi’i adanya saksi dalam pernikahan merupakan syarat sahnya sebuah akad nikah.
عدل : dalam pernikahan tersebut seorang saksi diharuskan bersifat adil, adil berarti dapat membedakan antara yang baik dan yang benar, dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u syai’ fi mahillihi).




8. Penjelasan Hadist
Definisi “syahid” atau saksi merupakan bentuk isim fa’il dari akar kata شهد (sya-hi-da) yang bermakna yang melihat sesuatu secara sempurna dan jelas. Jadi syahidain dalam teks hadis diatas mempunyai interpretasi bahwa dalam sebuah perkawinan harus dilihat secara sempurna dan jelas oleh minimal dua orang laki-laki. Adanya penafsiran bahwa saksi dalam nikah adalah laki-laki oleh karena berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abi Ubaid dari az-Zuhri, beliau berkata:
مضت السنة عن رسول الله صلي الله عليه وسام ان لايجوز شهدة النساء في الحدود ولافي النكاح ولافي الطلاق
Artinya: ”Sunnah Rasulullah yang berlaku adalah bahwa kesaksian wanita itu tidak diperbolehkan dalam hal pidana, perkawinan dan perceraian”.
Keberadaan saksi disini menyangkut aspek publisitas, yakni tidak mengabaikan kehidupan sosial disekitarnya dan saksi mempunyai arti penting yaitu sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak. Bahkan Syaidina Umar bin Khattab menghukumi zina atas pernikahan yang tidak dihadiri saksi. Sebagaimana tercermin dalam kitab Muwatho Imam Malik, hadits dari Abu Zubair
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فَقَالَ هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ
”Malik dalam Muwaththa’ dari Abi Zubair al-Makki. Bahwasanya pernah diajukan kepada Umar bin Khatab dihadapkan suatu pernikahan yang tidak disaksikan melainkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan maka jawab Umar: ”Nikah ini adalah nikah sirri dan tidak diperbolehkan, seandainya saya menemuinya maka saya akan merajamnya”.
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَغَايَا اللَّاتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ (رواه الترمذي)
”Pelacur-pelacur adalah mereka yang menikahkan diri tanpa saksi”. (HR Tirmidzi dan ia menerangkan, bahwa tidak ada yang memarfu’kan hadits ini selain Abdul A’la dan bahwasanya ia benar-benar pernah memaukufkan suatu ketika, sedang yang mauquf itulah yang lebih sah dan tindakan Abd A’la itu tidak dicela sebab ia Tsiqah, sehingga diterima ketika ia memarfu’kan dan menambah. Dan bahwasanya seorang rawi itu kadang-kadang memarfu’kan hadits dan kadang-kadang memauqufkannya)
Kata ’adlin dalam kalimat ”syahidai ’adhlin” merupakan kata sifat dari kata syahid (saksi). Kaum muslimin sepakat bahwa adil adalah sifat yang harus melekat pada saksi. Sebagaimana Firman Allah ta’ala dalam QS Al-Baqarah: 282
   
”dari saksi-saksi yang kamu ridhai”
dilain ayat Allah juga berfirman dalam QS At-Tholaq: 
       
”dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah”.
Kemudian perlu dijelasakan terlebih dahulu, apakah yang dimaksud dengan adil itu sendiri. Adil berasal dari kata a’dala- ya’dilu – ’adalatan yang bermakna keadaan lurus, menurut suatu pendapat adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jumhur ulama berpendapat yang dimaksud adil adalah:
صفة زائدة على الاءسلام وهو ان يكون ملتزما لواجبات الشرع ومستحباته مجتنبا للمحرمات والمكروهات
Orang yang selalu taat beragama, senantiasa menjalankan perintah Allah. Tidak pernah melakukan dosa besar dan jarang melakukan dosa kecil.

9. Pendapat Ulama Tentang Saksi
Pada dasarnya kalangan ulama dari sahabat-sahabat Nabi pada periode awal berpendapat bahwa kesaksian dalam nikah adalah syarat. Mereka berkata tidak ada nikah tanpa adanya saksi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini melainkan dari sebagian ulama mutaakhirin. Adapun perbedaan pandangan mereka dalam masalah ini ialah Apabila saksi itu terdiri dari seorang laki kemudian muncul seorang laki-laki sesudahnya. Dalam hal ini sebagian besar ulama kufah (Imam Hanafi)dan lain-lain berkata: ”tidak sah nikah sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara bersama-bersama pada waktu dilangsungkan akad nikah. Dan menurut sebagian Ulama Madinah (Imam Malik) boleh hadir seorang terlebih dahulu kemudian seorang lagi apabila telah diumumkan seblumnya. Menurut Ahmad dan Ishak boleh saksi itu terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Ibnu Taymiyah berkata dalam al-Ikhtiyarat:
Nikah yang diumumkan (dihadiri orang banyak) adalah sah, meskipun secara formal tidak ada dua orang saksi. Adapun nikah dengan secara sembunyi-sembunyi dengan dihadiri dua orang saksi masih dipersoalkan kedudukan hukumnya. Kemudian apabila pernikahan itu diumumkan secara formal dan disaksikan oleh dua orang saksi maka tidak diperselihkan lagi tentang kesahaannya, lalu apabila tanpa saksi dan tanpa diumumkan maka jelas pernikahan itu batal menurut jumhur ulama.
Disamping perbedaan pendapat diatas ulama juga berbeda pendapat seputar masalah kehadiran saksi dalam akad nikah, keadilan saksi ditinjau dari aspek dhohir dan batin serta kesaksian laki- laki.
Jumhur fuqoha ( Syafi’iyah, Hanabilah, Hanafiyah ) sepakat bahwa harus ada saksi dalam pernikahan dan saksi harus hadir dan menyaksikan akad nikah ( ijab – qobul ), sedangkan malikiyah berpandangan bahwa saksi harus ada, akan tetapi tidak harus hadir ketika akad melainkan hadir ketika dukhul ( bersenggama ) adapun kehadiran saksi dalam akad sifatnya hanya anjuran saja.
Dalan hal saksi bersifat adil, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat sifat adil seorang saksi cukup dalam hal dhohir saja, sedangkan Malikiyah jika tidak ditemukan orang yang adil maka sah kesaksian orang yang tidak dikenal kualitas keadilannya. Kemudian dalam hal dimana saksi diharuskan laki-laki, jumhur fuqoha ( Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah ) mereka sepakat dalam hal ini. Sedangkan Hanafiah, mereka berpendapat bahwa saksi tidak diharuskan laki-laki, maka sah kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan, tidak sah hanya perempuan saja tanpa adanya laki-laki bersama mereka. Menurut jumhur ulama ( Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah) berpendapat bahwa orang yang dalam keadaan ihram tidak sah jadi saksi pernikahan, sedangkan menurut ulama hanafiyah sah akad nikah dengan kesaksian orang yang ihram.

10. Analisa penulis
Adanya saksi dalam sebuah pernikahan merupakan syarat dan rukun yang harus dipenuhi ketika seseorang melangsungkan akad nikah. Sebab saksi tersebut mempunyai fungsi sebagai i’lan dan juga penguat apabila di kemudian terjadi sebuah pengingkaran dari orang lain terhadap pernikahan tersebut. Sehingga keberadaan saksi dalam sebuah pernikahan tersebut merupakan syarat maupun rukun yang tidak bisa dipungkiri. Tentunya saksi tersebut yang mempunyai sifat adil dan jujur.
Dari hadist utama dan juga hadist pendukung tentang saksi nikah, setelah ditinjau dan diteliti, keabsahan hadist tersebut dapat dijadikan hujjah dalam sebuah perikahan diharuskan dengan adanya saksi nikah. Oleh sebab itulah jika dalam sebuah pernikahan tidak terdapat saksi maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah.

Daftar Pustaka

Abdur Rahman Al Jauziah, Kitab Al Fiqh Ala Mzdahibul Arba’ah (Beirut, Libanon: Darl Al Fikr, 1996)
Asy Syeikh Mushtofa al Ghodayaini, Jami’ul al Durus al ‘Arobiyah Juz I, Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah
Faishal Ibnu Abdul Aziz, Nailul Author ( Kairo : Maktabah Salafiyah, 1374 H).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Libanon: Darul kutub ilmiyah, 1996)
Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, materi syin-ha-dal.
Jamaluddin Abu Al Hujjaj Yusuf Al Mazzy, Tahdiib Al Kamal fi Asma Al Rizal Juz 13, Beirut: Dar Al Fikr, 1994
Jamaluddin Abu Al Hujjaj Yusuf Al Mazzy, Tahdiib Al Kamal fi Asma Al Rizal Juz 8, Beirut: Dar Al Fikr, 1994
M. Ujaj Al Khotib, Ushulul Hadist, Beirut: Dar Al Fikr, 2002
Sayyid Bakri, I’aanatut Thaalibiin Juz III, Semarang : Toha Putra, (t.t)
Slamet Abidin, Aminuddin. Fiqih Munakahah. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Syeikh Mushtofa, Qowaaidu al Lughoh al ‘Arobiyah. (t.t : Mahfudhah, t.t.,)
Read more / Selengkapnya...

Tafsir Hukum Keluarga

Written by : M. Mujib Ismail

(Mahasiswa Fak. Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Jalur Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama RI)

1. Surat An Nisaa' : 11

... ... ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? (... ... ÇÊÊÈ

Artinya: … bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan…

Para pembaca banyak yang mengira bahwa yang ada dalam ayat ini (an nisaa':11) hanyalah problem linguistic, namun setelah memperhatikan lebih jauh mereka akan mendapati bahwa problemnya jauh lebih kompleks dari anggapan itu, sehingga banyak muncul interpretasi-interpretasi yang berbeda.

...

Perbedaan pendapat dalam penafsiran ayat tersebut dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut;

Pertama kita bisa melihat dari sudut pandang kewajiban nafkah. Menurut Al Maroghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa seorang laki-laki mempunyai kewajiban mencari nafkah untuk diri sendiri dan juga keluarganya (istri, anak, dll). Namun perempuan hanya membutuhkan nafkah untuk diri pribadinya, bahkan ketika sudah menikah maka nafkah tersebut menjadi tanggungjawab suaminya. Menurut Iqbal dalam tafsirnya menyatkan laki-laki berkewajiban memberikan mahar sedangkan perempuan tidak, justru malah menjadi pemilik/penanggungjawab akan harta yang telah diberikan oleh suami dan ayahnya.

Kedua, asbabun nuzul ayat tersebut adalah sebagai manifestasi agama islam untuk menghormati dan menghargai kaum perempuan, sebab dalam adat jahiliyyah perempuan tidak mendapatkan sedikitpun dari harta warist/peninggalan, sehingga dengan turun ayat tersebut seorang perempuan mempunyai hak mendapatkan harta waris ½ dari bagian seorang laki-laki.

Dari pendapat tersebut diatas dapat dipahami bahwa telah adanya penghormatan yang jelas kepada seorang perempuan. Dan memang sudah seyogyanya seorang laki-laki memperoleh harta waris 2 kali lipat dari bagian seorang perempuan, sebab lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan dan mempunyai tanggungjawab yang tidak mudah dalam merawat atau mendidik kaum perempuan.

Namun pada zaman yang sudah modern ini banyak pemimpin bahkan ulama’ kontemporer yang mengatakan bahwa penerapan warist ulama salaf sudah tidak relevan dengan asas-asas keadilan. Sebab mereka berpandangan bahwa wanita juga bisa menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki, yang terkadang dalam sebuah rumah tangga yang menjadi tulang punggung keluarga bukannya sang suami akan tetapi istri. Sehingga tidak tepat kalau dikatakan bahwa alasan ulama’ salaf yang mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menanggung beban hidup rumah tangga.

Akan tetapi penulis tetap tidak setuju dengan pendapat ulama’ kontemporer yang berpendapat demikian. Sebab apabila pembagian waris antara perempuan dan laki-laki disamakan maka tidak sesuai dengan ketentuan yang telah difirmankan Allah, karena derajat atau kewajiban laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Laki-laki memiliki kewajiban yang lebih berat seperti telah di jelaskan dalam tafsir al maroghi di atas dan juga sebagaimana firman-Nya

ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& ...ÇÌÍÈ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), anak karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka …(Q.S An Nisaa' : 34)

Selain itu, dari teks ayatnya juga jelas bahwa bagian laki-laki adalah 2 kali lipat dari bagian perempuan, (mislu hadzil unsayain).

2. Ayat dibawah ini

`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4... ÇÒËÈ

kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai … (Q.S Al Imron 92)

(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# ... ÇÊÒÎÈ

dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah.

Bagaimana argumentasi anda tentang تنفقوا dalam ayat tersebut di atas yang dijadikan dasar/titik tolak hukum wakaf. Serta perbedaan-perbedaan pendapat mengenainya !

Lafadz البرّ adalah bermakna kebaikan, syurga, sedangkan أنفقوا yang dijadikan titik tolak wakaf itu sering disebutkan dalam Al Qur'an dengan kelanjutan ayat في سبيل الله sehingga arti lafadz tersebut adalah menyalurkan harta benda untuk kepentingan agama. Sebagaimana Ar Rozi dalam tafsirnya menyatakan ayat tersebut, pertama adalah sebuah peringatan akan wajibnya wakaf, karena harta yang kita miliki adalah milik Allah SWT. Kedua bermakna berjuang dijalan Allah, karena sabab al nuzul ayat ini adalah ketika Rosulullah menunaikan ibadah umroh, maka barang siapa yang menjadi penghalang wajib untuk dimusnahkan. Dalam tafsir Ibn Arofah juga disebutkan bahwa lafadz infaq tersebut memiliki cakupan makna yang luas yaitu segala hal yang baik berupa diri pribadi maupun harta benda. Sehingga wakaf merupakan bentuk manifestasi daripada pentasharuban harta benda. Oleh karena itu, kedua penggalan ayat tersebut selain digunakan dasar bershodaqoh dapat juga dijadikan sebagai dasar hukum wakaf.

3. Surat Al Baqarah ayat 282 sebagai berikut :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRrãƒÏè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ

282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

[179] Bermuamalah ialah seperti berjual-beli, hutang-piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

Bagaimana pendapat anda mengenai adanya kontradiksi penafsiran makna syahadah dalam ayat

Ayat 282 surat Al Baqarah merupakan perintah adanya kesaksian dalam hal muamalah (jual beli, hutang piutang dll). Dalam ayat tersebut telah jelas bahwa makna teks ayat menyatakan bahwa kesaksian haruslah dengan dua orang saksi laki-laki, namun bila tidak terdapat orang laki-laki maka dengan mengganti seorang laki-laki dengan dua orang perempuan. saksi diharuskan laki-laki, jumhur fuqoha ( Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah ) mereka sepakat dalam hal ini. Sedangkan Hanafiah, mereka berpendapat bahwa saksi tidak diharuskan laki-laki, maka sah kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan, tidak sah hanya perempuan saja tanpa adanya laki-laki bersama mereka. (bisa di lihat dalam fiqih ala madzahib al arba’ah). Namun permasalahannya adalah menyangkut dengan wasiat, dimana wasiat seseorang yang sudah diketahui tanda-tanda akan meninggal harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Sehingga timbul sebuah pertanyaan apakah kesaksian non muslim dapat disahkan? Banyak ulama berbeda pendapat akan hal itu, Imam Malik, dan Imam Syafi'i sepakat bahwa kesaksian non muslim tidak sah sebagaimana halnya Al Baidhawi dalam tafsirnya menjelaskan saksi tersebut harus dari orang muslim. Namun Abu Hanifah dan sebagian ulama memperbolehkan kesaksian non muslim karena surat Al Maidah termasuk surat yang terakhir diterima oleh Rosul. Oleh sebab itu saksi non muslim hanya diperbolehkan dalam hal tertentu dan terpaksa misalnya dalam perbuatan jarimah, kalaupun belum diakui kebenarannya bisa dilakukan sumpah pada hakim.

Read more / Selengkapnya...