Jumat, 22 Mei 2009

PRINSIP DAN TEORI HUKUM ISLAM


RESENSI BUKU "PRINSIP DAN TEORI HUKUM ISLAM KARYA M. HASYIM KAMALI"

Buku yang berjudul “Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam” ini berisi banyak hal yang berkaitan dengan teori-teori hukum islam, dalam pengantarnya juga telah disebutkan bahwasannya buku ini adalah hasil dari inovasi berbagai buku yang berkaitan dengan teori-teori hukum islam. Seperti “Ilm Ushúl al-fiqh” karya Abdul Wahab Kholaf, “Ushúl al-fiqh” karya Abu Zahrah, M. Al Khudhari, kitab “al mustafa min ‘ilm al ushúl” karya Al Ghazali dan lain-lain. Buku yang dikarang oleh M. Hasyim Kamali ini lebih menekankan pada teori pengambilan hukum dengan menjelaskan secara lugas masalah ushul fiqh sekaligus penerapan atau interpretasi pada masalah yang ada. Sedangkan buku-buku terdahulu cakupannya lebih mengarah pada sebagaian bahasan sehingga kurang merata dan representatif terhadap para mujtahid modern. Seperti halnya salah satu bidang saja yang dijelaskan secara detail sedang bidang lain sedikit terabaikan.
Pada buku ini dijelaskan pula kaidah-kaidah interpretasi, klasifikasi kata-kata, perintah dan larangan hingga implikasi tekstual terhadap berbagai permasalahan, sehingga cukup menarik dan memberikan wacana baru bagi para pembaca maupun penggali hukum islam. Sebagai contohnya
...

pengetahuan tentang kaidah interpretasi mengenai lafadz ‘ámm, khas, mutláq maupun muqayyad yang relevan dengan permasalahan hukum modern sangatlah dibutuhkan oleh para penggali hukum, oleh karena itu sangatlah tepat dan baik kiranya buku ini untuk dijadikan bahan rujukan.
Buku ini pula menekankan kajiannya pada bahasan ushul fiqh secara gamblang berikut contoh interpretasi penggalian hukum dari berbagai permasalahan. Sebab ushul fiqh merupakan suatu alat penting dalam menginterpretasikan nas-nas Al Qur’an maupun Al Hadist terhadap permasalahan yang ada. M. Hasyim Kamali dalam menjelaskan ushul fiqhnya menggunakan dua pendekatan, pertama pendekatan teoritis dan kedua pendekatan deduktif, yang keduanya memiliki perbedaan pada orientasi hukum dari pada subtansi hukumnya. Penggabungan dua metode ini juga tercermin dalam kitab “Badi’ Al Nizaam Al Jami Bayn Ushul Al Bazdawi wal Ihkam” yang mana sebagai bahan rujukan beliau juga.
Dalam pembahasan Adillah Syar’iyyah, M. Hasyim Kamali mengklasifikasikan sumber hukum dengan sumber hukum mustaqil (berdiri sendiri) dan muqayyad (yang disandarkan). Tiga sumber hukum yaitu Al Qur’an, Al Hadist dan Ijma’ sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri sedangkan Qiyas adalah sumber hukum yang dikaitkan dengan dalil lain karena Qiyas membutuhkan justifikasi dalam bentuk illat sehingga otoritasnya masih bersumber dari tiga sumber hukum tersebut. Namun Ijma’ yang masih diperdebatkan apakah mustaqil ataukah muqayyad beliau lebih condong pada muqayyad dengan alasan ijma’ telah ditetapkan sehingga sudah tidak lagi membutuhkan sanad.
Begitu pula terhadap sumber hukum sunnah, As Syatibi dan As Syawkani berpendapat bahwa sunnah adalah mustaqil (berdiri sendiri) dengan dasar dalam Al Qur’an Allah memerintahkan untuk mentaati rosulnya, ketaatan ini khusus setelah ketaatan terhadap Allah sehingga memperkuat bahwa taat pada nabi kapan saja saat memerintahkan. Jika pemahaman taat pada nabi hanya sekedar penjelasan Al Qur’an maka cukuplah dengan redaksi taat pada Allah saja. Namun Imam Syafi’i berbeda pendapat, taat pada nabi berarti mentaati beliau dalam kapasitas sebagai rasul, sehingga seluruh hukum dan legislasi kenabian bersumber hanya dari Allah semata.
M. Hasyim Kamali tidak lagi membagi bentuk ayat Al Qur’an dengan istilah Qath’i-Dhanniy, ‘Am-Khas, Mutlaq-Muqayyad namun hanya cukup dengan dua kategori yang mencakup kesemuanya kategori-kategori tersebut, yaitu pertama ayat yang definitif dan ayat yang spekulatif. Definitif maksudnya tidak ada lagi penafsiran lain dari teks ayat tersebut, misalnya hak seorang suami atas harta istrinya yang telah meninggal adalah separoh (Q.S An-Nisaa’ : 12), sedangkan spekulatif artinya adalah ayat yang masih membuka kemungkinan adanya penafsiran oleh para mujtahid. Sebagai contoh adalah nas Al Qur’an yang berbunyi : “Dilarang bagi kamu ibu-ibu kamu, saudara perempuan-perempuan kamu…” (Q.S An Nisaa’ 23). Nash tersebut adalah definitif dalam kaitan larangan mengawini ibu dan saudara, namun menjadi hal yang spekulatif bila kita cermati dari lafadz Banátukum (saudara-saudara perempuan kamu), apakah anak perempuan yang lahir dari seorang melalui perkawinan ataukah termasuk diluar perkawinan?
Disini para Fuqaha’ berbeda pendapat, mana yang harus diterapkan. Ulama Hanafi lebih cenderung menetapkan larangan menikah dengan anak yang tidak sah (tidak melalui perkawinan) sementara ulama Syafi’i anak perempuan yang tidak sah adalah tidak dilarang, karena nash itu hanya menunjuk pada anak perempuan hasil perkawinan yang tidak sah, akibat hukumnya anak perempuan tidak sah tidak memiliki hak kewarisan, ketentuan-ketentuan pemeliharaan dan perwalian tidak berlaku bagi dirinya.
Pada kaidah interpretasi yang kedua, M. Hasyim Kamali menjelaskan secara rinci antara pendapat Syafi’i dan Maliki, yang keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami dan memaknai sebuah nash Al Qur’an maupun Al Hadist, sehingga jelas bagi para pembaca untuk menggunakan implikasi-implikasi tekstual dalam menginterpretasikan makna sebuah ayat atau nash.
Sebagai contoh dalam memaknai ayat 145 surat an nisaa’, yang secara garis besar memiliki makna kebolehan seluruh makanan secara umum kecuali bangkai dan darah yang mengalir (daman masfúhan) bukan berarti darah yang tidak mengalir itu halal, karena kebolehan darah yang tidak mengalir seperti halnya hati dan limpa bukan atas dasar ayat ini melainkan adanya hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya sebagai berikut;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ (رواه ابن ماجة)
Namun dalam mendeduksikan mafhúm al-mukhálafah ulama Syafi’i memberikan beberapa syarat, antara lain tidak keluar dari lingkup dalálah mantúq, tidak keluar dari kedudukan semula karena alasan seperti takut atau tidak tahu, tidak bertentangan dengan suatu yang dominan dalam suatu masyarakat dan menjadi adat istiadat, dan nash asal tidak diturunkan untuk menjawab persoalan atau peristiwa khusus.
Penjelasan dan juga metode-metode tersebut memberikan pintu terang bagi para mujtahid modern untuk melakukan interpretasi dan ijtihad secara tepat. Menjadi inspirasi serta dukungan penelitian yang rasional dalam deduksi ahkám dari sumber-sumber wahyu Allah. Batasan-batasan yang diberikan bagi mujtahid telah cukup jelas, dimana ketentuan Al Qur’an dan Al Sunnah harus dipahami secara cermat dan tepat sehingga tidak menyimpang dari implikasi-implikasi yang sempurna.
Namun buku yang berjudul “Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam” ini masih memiliki beberapa kekurangan dalam beberapa hal, antara lain;
1. Dalam penggunaan ayat al qur’an tidak dilengkapi dengan teks ayatnya, mungkin menurut pengarang agar lebih simple dan efisien, akan tetapi lebih baik pada bagian tertentu yang sangat perlu dicantumkan teks ayatnya.
2. Kurang adanya konsistensi pada penulisan makna ayat, pada halaman 201 arti ayat ditulis sebagaimana pemikirannya sendiri padahal jelas dikutib dari arti sebuah ayat, sedangkan halaman 205 ditulis dengan aturan kutipan yang benar sebagaimana halaman 129 juga dll.
3. Dalam pencantuman teks hadist sebenarnya bagus, akan tetapi alangkah lebih baik jika dicantumkan perowinya, semua hadist yang dijadikan dukungan tidak ada yang dicantumkan perowinya.
4. Halaman 227 terdapat kesalahan pencantuman ayat, seharusnya ayat 110 surat Al-Imran, akan tetapi ditulis ayat 109 surat Al Imran, kemudian seharusnya juga pengutipannya diketik miring.


Read more / Selengkapnya...

Wasiat KHI vs Fiqh Islam

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Wasiat Dalam Perspektif Fiqih
B. Wasiat dalam perspektif KHI
C. Analisis


BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sah-nya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya di atur dalam BW untuk non muslim atau kaum adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Meskipun di atur dalam BW dan KHI, ketentuan-ketentuan daerah masih diperhatikan dan dijadikan rujukan penentuan hukum.
Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan rujukan pengadilan agama di Indonesia mengatur tentang wasiat. Kemudian dikomparasikan dengan system wasiat dalam Fiqih. Pembahasan ini berupaya untuk memahami pelaksanaan wasiat bagi umat Islam di Indonesia. Bagaimana pun itu, Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. KHI sebenarnya hasil ijtihad dari kitab-kitab Fiqih klasik yang kemudian dikontekstualisasikan dengan keadaan di Indonesia. Kontekstualisasi ini dilakukan karena berpijakan bahwa suatu hukum yang disusun ulama dahulu itu ada dalam ruang, waktu dan tempat mereka.

...


B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut
1. Bagaimana definisi Wasiat dalam KHI dan Fiqih Islam?
2. Bagaimana syarat dan rukun wasiat dalam Fiqih dan KHI?
3. Bagaimana perbandingan wasiat dalam KHI dan Fiqih Islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk ;
1. Memahami wasiat dalam KHI dan Fiqih Islam
2. Mengetahui syarat dan rukun wasiat
3. Memahami perbandingan wasiat dalam KHI dan Fiqih

BAB II
PEMBAHASAN
A. Wasiat dalam Perspektif Fiqih
1. Pengertian
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.
Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru' . Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi'i, Hambali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia . Dan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f).

2. Dasar Hukum
Sumber hukum yang mengatur tentang wasiat tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi :
        •         
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S Al Baqarah: 180)

Dalam tafsir dijelaskan bahwa makna ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.

QS Al-Nisa ayat 11 yang berbunyi :
... ...          ... ... 
Artinya: “... ... Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya ... ... (QS. Al Nisaa’ : 11)

Hadist Nabi

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ (رواه مسلم)

عَنْ عَمْرِو بْنِ خَارِجَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ عَلَى نَاقَتِهِ وَأَنَا تَحْتَ جِرَانِهَا وَهِيَ تَقْصَعُ بِجِرَّتِهَا وَإِنَّ لُعَابَهَا يَسِيلُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذى)

Adapun mengenai hukum wasiat para ahli hukum berbeda pendapat yaitu:
1. Pendapat ini memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-zuhri dan Abu Mijlaz.
2. Pendapat ini memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayyit wajib hukumnya. Ini menurut Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-zuhri.
3. Pendapat empat Imam dari aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.

Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa QS Al-Baqarah ayat 180 dan QS An-Nisa ayat 11-12 mengandung pengertian bahwa “Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang. Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan”.

3. Rukun dan syarat sahnya wasiat
Para ahli hukum masih berbeda pendapat mengenai rukun dan syarat sahnya wasiat. Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu. Sedangkan Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa syarat wasiat terdiri dari empat hal yaitu :
a. Orang yang berwasiat (al-mushi), adalah setiap pemilik yang sah hak kepemilikannya terhadap orang lain, bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri. Pemberi wasiat harus berakal, merdeka dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian
b. Orang yang menerima wasiat (al-maushilah ), adalah orang atau badan hukum yang bukan termasuk ahli waris dan secara hukum dipandang cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda. Disyaratkan bukan ahli waris dari pewasiat
c. Sesuatu yang diwasiatkan ( maushilah bih), disyaratkan dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain.
d. Shigat

a. Orang Yang Menerima Wasiat
Diantara syarat-syarat orang yang akan menerima wasiat ialah, bukanlah pada ahli waris. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab yang empat, Hanafi, Maliki, Syaf'i, dan Hambali. Dasar hukum yang ditunjukkan oleh Hadist Rasulullah yang menegaskan "tidak ada wasiat bagi ahli waris" (H.R. Tirmizi). Pertimbangan mengapa wasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris mudah dipahami, karena wasiat dalam fungsi sosialnya dimaksudkan untuk memberikan kelapangan kepada kerabat dekat yang tidak termasuk ke dalam jumlah ahli waris yang mendapat pembagian harta peninggalannya, untuk membantu kaum dhuafa', fakir miskin, atau untuk memberi sumbangan kepada sarana ibadah atau pendidikan . Tidak semua kerabat mendapat harta warisan, dan tidak semua mereka hidup lapang. Diantara mereka ada yang terhijab oleh kerabat yang lebih dekat, dan ada pula semacam kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapat warisan disamping banyak sarana ibadah atau pendidikan yang memerlukan dana dari yang punya harta. Tujuan seperti itu akan sulit dicapai bilamana wasiat ditujukan kepada ahli waris. Di sisi lain, berwasiat kepada ahli waris bisa menimbulkan silang sengketa diantara ahli waris itu sendiri. Pihak ahli waris yang mendapat harta wasiat merasa diutamakan, sedangkan pihak yang tidak mendapat wasiat merasa dianak-tirikan. Membeda-bedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain dalam pemberian, terlarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: "Samakanlah pemberian diantara anak-anak kamu" (H.R. Bukhari). Mewasiatkan harta kepada sebagian anak berarti membuka kemungkinan silang sengketa diantara mereka.
Berwasiat kepada ahli waris tidaklah dibenarkan, kecuali atas persetujuan ahli waris yang lain, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat Daruquthni. Ketentuan hadis itu dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesimpulan ini adalah didasarkan bahwa tidak bolehnya berwasiat kepada ahli waris karena menimbang hak dan perasaan hati ahli waris yang lain. Oleh sebab itu, jika ahli waris yang lain itu menyetujuinya, maka wasiat itu dibolehkan. Berbeda pendapat diatas, kalangan Malikiyah dan Zahiriyah berpendapat bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya persetujuan ahli waris yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu adalah termasuk hak Allah SWT yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia. Ahli waris tidak berhak membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut pandangan ini, suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah, agar harta tidak bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan kepada hal-hal lain yagn membutuhkannya . Andaikan ahli waris menyetujuinya juga, begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka statusnya bukan lagi sebagai wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat tertentu sebagai mana lazimnya hibah.
Bilamana berpegang kepada pendapat yang pertama tadi, yaitu wasiat kepada ahli waris dibolehkan dengan syarat persetujuan ahli waris yang lain, maka jika sebagian ahli waris menyetujui sedangkan sebagian lain tidak menyetujuinya, dalam ketentuan Fiqih, wasiat itu dianggap sah pada kadar hak ahli waris yang menyetujuinya, dan tidak sah pada kadar hak ahli waris yang tidak menyetujuinya.
Pendapat yang melarang berwasiat kepada ahli waris adalah pendapat mayoritas ulama' Syafi'iyah, Hanafiyah, malikiyah, dan Hanabilah. Berbeda dengan itu, kalangan Syi'ah Imamiyah dan sebagian dari kalangan Syi'ah Zaidiyah membolehkan wasiat kepada ahli waris, tanpa persetujuan ahli waris yang lain. Pendapat ini berlandaskan: kepada ayat 180 surat Al-Baqarah yang artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa" .
Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ayat diatas sudah dinasakh (dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan. Menurut mereka yang dinasakh hanya hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris. Setelah hukum wajibnya dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat tersebut tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris .
Bolehnya berwasiat kepada ahli waris menurut mereka dengan beberapa pertimbangan, antara lain, dari sekian jumlah anak umpamanya ada yang telah banyak mengurus dan mengabdi kepada orang tuannya di masa keduanya masih hidup. Untuk hal yang seperti ini adalah wajar mengkhususkan sebagian harta untuk mereka dengan jalan wasiat, disamping pembagian warisan yang akan diterimanya. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, bisa jadi ada diantara ahli waris yang hidupnya kurang beruntung di bidang ekonomi dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Untuk membela nasib mereka, orang tuanya dapat mempertimbangkan sebelum wafat mewasiatkan sebagian hartanya untuk anaknya itu.
b. Jumlah Harta Yang Boleh Diwasiatkan
Demi kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, seseorang hanya berhak mewasiatkan sebagian kecil dari harta kekayaannya. Hal ini dimaksudkan, agar wasiat tidak menjurus kepada malapetaka bagi ahli waris yang ditinggalkan. Para ahli hukum islam sepakat bahwa batas wasiat paling banyak adalah sepertiga dari harta peninggalan pewaris. Dasarnya adalah hadits Sa'ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi Muhammad, hadits ini adalah ucapan Rasul dalam dialog dengan Sa'ad bin Abi Waqash yang sedang sakit;
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah menjenguk saya waktu haji wada’ karena sakit keras yang saya alami sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana engku sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya mengatakan lagi bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau menjawab “Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan, sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu”.

Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. Hadis tersebut secara tegas melarang wasiat lebih dari sepertiga harta, dan sepertiga itu sudah dianggap banyak. Artinya dalam kondisi tertentu, berwasiat kurang dari sepertiga harta, dianggap lebih baik, sehingga dengan itu tidak mengurangi kelapangan ahli waris yang ditinggalkan. Kesimpulan tersebut sejalan dengan pendapat Abi Ishaq Asy-Syirazi dalam kitabnya Al-Madzzab. Menurutnya, bilamana ahli waris hidup tidak lapang, jika seseorang mau berwasiat hendaknya kurang dari sepertiga hartanya. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan hadist Bukhori bahwa berwasiat sepertiga harta itu sudah dianggap banyak.
Adanya pembatasan dimaksudkan demi menjaga kepentingan ahli waris, maka wasiat lebih dari sepertiga diakui jika ahli waris itu menyetujuinya. Perbedaan pendapat terjadi terjadi dalam hal seseorang tidak mempunyai ahli waris. Menurut Abu Hanifah, mengacu pada pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud, bahwa dalam kondisi demikian seseorang boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga bahkan seluruh hartanya. Baitul Mal baru berhak, bilamana yang punya harta tidak mewasiatkan seluruhnya. Berbeda dengan itu, pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta tetap berlaku ketika seseorang tidak mempunyai ahli waris. Seperti yang dinukil oleh Sayyid Sabiq , kesimpulan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama'. Menurut pandangan ini, harta yang dua-pertiga lagi adalah mutlak milik Baitul Mal, untuk disalurkan kepada kepentingan umum.
c. Wasiat Wajibah
Tentang kewajiban wasiat wajibah diambil dari pendapatnya fuqoha dan Tabi'in besar ulama Fiqih dan ahli hadis, antara lain Said Ibnu Al-Musyyah, Hasan Al-Basyri, tawus, Ahmad, Ishaq Ibnu Rawaih, dan Ibnu Hazm. Pada dasarnya memberiakn wasiat itu adalah suatu tindakan ikhtiyariah. Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagimana juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat. Adapaun kewajiban wasiat bagi seseorang disebabkan keteledoran dalam memenuhi hak-hak Allah SWT. Seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan puasa dan lain sebagainya telah diwajibkan oleh syari'at sendiri, bukan oleh penguasa atau hakim .
Namun demikian penguasa mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat/ wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena dua hal:
1. hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
2. ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 kali lipat bagian perempuan.
Adapun orang -orang yang berhak mendapat wasiat adalah cucu laki-laki atau perempuan baik pancer laki-laki atau perempuan yang terhalang mendapat warisan karena adanya anak si mayyit terlebih dahulu meninggal dunia. Sedang besarnya wasiat wajibah adalah 1/3 harta peninggalan, tidak boleh lebih.

4. Pembatalan Wasiat
Dalam hal penerima wasiat mati sebelum meninggalnya pemberi wasiat ada perbedaan pendapat. Menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah wasiat tersebut batal dikarenakan wasiat merupakan pemberian yang jika diberikan kepada orang mati maka tidak sah. Sedang menurut Imamiyah kalau si penerima wasiat meninggal lebih dulu maka kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya penerima wasiat, hal itu terjadi bilamana wasiat tidak dicabut oleh si pemberi wasiat dan si penerima tidak menolaknya.
Adapun masalah pencabutan wasiat hal tersebut boleh dilakukan oleh pemberi wasiat sendiri jika dirasa ada yang lebih berhak atas harta tersebut. Hal itu dikarenakan wasiat adalah suatu pemberian yang hanya boleh dilaksanakan kalau pemberi wasiat meninggal dunia, sehingga dengan kata lain wasiat boleh dicabut selama si pemberi masih hidup.

B. Wasiat dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
1. Syarat Pewasiatan
Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 194 sampai pasal 209. Pada pasal 194 disebutkan bahwa yang berhak melakukan wasiat adalah orang yang sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak dalam tekanan pemaksaan, harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat dan pelaksanaan wasiat saat pewasiatnya sudah meninggal.
KHI mempunyai alasan tersendiri mengapa batasan umur (ukuran kedewasaan) setidaknya telah mencapai umur 21 tahun, sedangkan dalam pernikahan disebutkan kedewasaan seseorang diukur sejak umur 17 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Diantaranya wasiat merupakan perihal melepaskan harta disaat ia masih dalam keadaan hidup, dengan pertimbangan umur 21 tahun diharapkan apa yang telah diwasiatkan tidak ada pencabutan kembali sebab ia masih kekurangan untuk keperluan kehidupannya, walaupun masih diperbolehkan untuk mengajukan pencabutan dalam wasiat. Sehingga umur 21 diperkirakan telah mencapai kematangan pemikiran yang sempurna dalam bertindak hukum. Dan umur 21 tahun, rata-rata masyarakat indonesia baru terlepas dari sifat ABG, serta tidak ada unsur dharurat dalam mewasiatkan harta. Sedangkan kedewasaan dalam pernikahan hanya sampai 17 dan 19 tahun adalah sebagai solusi dari beberapa hal yang bersifat dharurat.
2. Pelaksanaan Wasiat
Pasal 195 menjelaskan tentang pelaksanaan wasiat, bahwa wasiat harus dilakukan dengan tiga cara, yaitu, a) secara lisan dihadapan dua orang saksi, b) tertulis di hadapan dua orang saksi, c) dihadapan notaris. Untuk Kadar harta yang boleh diwasiatkan, tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalannya dan wasiat diberikan kepada selain pewaris. Jika wasiat melebihi sepertiga dan penerima wasiat salah satu ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan jika ada persetujuan dari semua ahli waris dengan membuat pernyataan persetujuan secara lisan dengan dua orang saksi, tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris. Kemudian ditegaskan pada pada pasal 196, bahwa baik wasiat berupa tulisan atau pun lisan harus dengan tegas dan jelas orang atau lembaga yang akan menerima wasiat tersebut.
3. Pembatalan Wasiat
Pembatalan wasiat dijelaskan dalam pasal 197 dan pasal 198, yang tercantum dalam tiga ayat. Alasan pembatalan wasiat tersebut adalah:
1. apabila calon penerima wasiat diputuskan hukuman pidana dikarenakan:
a. Membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewasiat
b. Memfitnah pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman minimal 5 tahun penjara
c. Kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat, mencabut, atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
d. Menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat
2. wasiat batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat tersebut:
a. Tidak mengetahui adanya wasiat sampai penerima wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal.
b. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi ia menolak untuk menerimanya.
c. Mengetahui adanya wasiat tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat
3. wasiat batal dikarenakan barang yang diwasiatkan musnah
4. masa waktunya habis jika wasiat yang berupa hasil dari benda ataupun pemanfaatan suatu benda (dikarenakan wasiat tersebut harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu)
Kemudian pada pasal 207 KHI dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Selain itu, pada pasal 208 KHI disebutkan juga bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaries dan saksi-saksi pembuat akta wasiat. Menurut Abdul Manan, pelarangan wasiat kepada orang yang dimaksud pasal 207-208 KHI karena mereka terlibat langsung dalam pelaksanaan wasiat tersebut sehingga dikhawatirkan terjadi penyimpangan dalam pembuatannya.

4. Pencabutan Wasiat
Selain ada alasan pembatalan wasiat, KHI juga mengatur bagaimana wasiat itu bisa dicabut, pencabutan wasiat ini terdapat pada pasal 199, adapun persyaratan pencabutan tersebut:
1. calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau menarik kembali persetujuan
2. pencabutan wasiatnya kalau secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi; secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi; berdasarkan akta notaries
3. bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaries. Tetapi kalau wasiat dibuat dengan akta notaries, maka hanya bisa dicabut dengan akta notaris.
Kemudian dalam pasal 203 ayat (2) dikemukakan bahwa apabila surat wasiat tersebut dicabut maka surat wasiat harus dikembalikan kepada pewasiat.
5. Persengketaan Wasiat
Sebagaimana pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama ditetapkan bahwa perselisihan tentang wasiat menjadi kewenangan perdilan agama untuk menyelesaikannya.

C. Analisis
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pasal 194 seperti dalam hal penentuan orang yang berwasiat sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan, sesuai dengan pendapat hanafi, hanbali dan maliki. KHI mengisyaratkan orang yang berwasiat tersebut harus dewasa menurut undang-undang, tidak seperti Fiqih tradisional yang dibatasinya dengan balig.
Adapun tentang orang yanag menerima termasuk ahli waris, dalam Fiqih berbeda pendapat. Seperti Ibnu Hazm dan fuqaha malikiyyah tidak membolehkannya secara mutlak, sedangkan Syafi’i, Maliki dan Hanafi, membolehkan asal ada izin dari ahlii waris semuanya. Adapun KHI sepertu pendapat kedua, bahwa wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris dan tetap tidak melebih dari 1/3 harta.
Meskipun ada kekurangannya, KHI lebih realitis dalam mengatur permasalahan wasiat di Indonesia di banding yang ada dalam Fiqih, hal ini dikarenakan sudah adanya kontekstualisasi pemahaman tentang wasiat. Dalam permasalahan pencabutan wasiat, KHI hanya melihat dari aspek administratifnya, bukan substantifnya. Aturan tentang wasiatpun lebih diperinci, misalnya mengenai pembatalan wasiat dibahas hingga syarat wasiat bisa dibatalkan.


BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan diatas dan rumusan yang telah penulis susun, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ketentuan umum wasiat dalam Fiqih dan KHI memiliki banyak kesamaan walaupun terdapat perbedaan, perbedaan dalam pelaksanaan yang lebih realistis dan kontekstual terhadap perkembangan zaman.
2. Jumlah harta yang boleh diwasiatkan dalam hukum fiqih masih banyak perselisihan, sedangkan dalam KHI telah ditentukan 1/3 harta yang ditinggalkan.
3. Batasan umur dalam fiqih tidak ditentukan secara pasti, sedangkan dalam KHI telah jelas disebutkan sekurang-kurangnya berumur 21 tahun
4. Dalam fiqih islam tidak mengharuskan pencatatan yang penting terdapat 2 orang saksi, sedangkan dalam KHI selain 2 orang saksi harus dilakukan pencatatan dihadapan notaris.

B. Saran
Setelah membahasan panjang lebar ini, penulis menyarankan kepada semua pembaca untuk:
1. Memahami bahwa hukum itu bersifat fleksibel dan elastis terhadap perkembangan zaman dikarenakan hukum mengisi ruang dan waktu suatu realitas
2. Mengkaji ulang ketentuan wasiat dalam KHI masih relevan atau tidak dengan perkembangan zaman saat ini
3. Selalu mencoba mengkontekstualisasikan pemahaman Fiqih klasik kepada zaman sekarang.


DAFTAR PUSTAKA
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Transformatif. Jakarta: Fajar Interpratama. 1997
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2006
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 1992
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurad, Sunan Tirmidzi, Beirut: Libanon, 1994
Aplikasi Hadist, Al Maktabah Syamilah
Asyhari Abta, Djunaidi Syakur, Ilmu Waris Deskripsi Islam Praktis Dan Terapan. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005
Fahris Abi Hasan Muslim, Shohih Muslim, Libanon: Dar Al Kutub, 1995
Fathur Rahman, Ilmu Waris. Bandung: Pustaka Alma'arif, 1981
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan. Jakarta: Sinar Grafika, 1994
Mimbar Al-hikmah Aktualisasi Hukum Islam. Jakarta: Al-Hikmah Dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1992
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. Surabaya: Bulan Bintang, t.t.,

Read more / Selengkapnya...