Senin, 01 Desember 2008

Batas Kadar Nafkah

BATAS KADAR NAFKAH

(Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar (basic demand) bagi setiap manusia normal. Tanpa pernikahan, kehidupan seseorang tidak akan sempurna bahkan lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Karena Allah SWT menciptakan makhluq-Nya secara berpasang-pasangan, saling mencurahkan rasa kasih sayang, saling membantu dan memberi. Sehingga pernikahan merupakan media sekaligus sebagai faktor yang signifikan dalam membangun nilai-nilai insaniyah. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dalam Al Qur’an Surat Ar Ruum ayat 21 :

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S Ar Ruum: 21)[1]

...

Nabi Muhammad SAW juga memberikan peringatan bahwasannya pernikahan merupakan sebagian daripada sunnah-sunnah beliau, sehingga bagi mereka yang melaksanakan peernikahan berarti telah mengikuti sunnah beliau. Sebagaimana sabdanya

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ... ... [2]

Artinya: ”Rosulullah SAW Bersabda, pernikahan merupakan sunnahku, barang siapa yang mengingkari sunnahku maka ia bukanlah termasuk dari golonganku ……”. (HR. Ibn Majjah)

Dengan adanya akad/ ikatan pernikahan maka terbentuklah sebuah keluarga. Dari keluarga tersebut minimal terdiri dari seorang suami dan seorang istri, kemudian anak, cucu, cicit dan sebagainya. Ikatan pernikahan tersebut tak lain bertujuan untuk mendirikan rumah tangga yang kekal, harmonis, dan sejahtera, yang mana merupakan dambaan bagi setiap manusia.

Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam membentuk keluarga yang harmonis. Dalam fenomena yang terjadi pada masyarakat, tidak sedikit yang gagal dalam membina keluarga hanya disebabkan oleh masalah-masalah yang sepele. Banyak perceraian maupun kasus gugatan cerai karena masalah nafkah yang tidak terpenuhi. Kadar nafkah lahir dan batin yang tidak seimbang sering menjadi bahan timbulnya percekcokan dalam sebuah rumah tangga. Banyak juga istri yang tidak mau melayani suami dengan kasih sayang yang penuh disebabkan nafkah lahirnya kurang tercukupi.

Apakah kadar nafkah yang sedikit mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keharmonisan rumah tangga?, apakah kadar keseimbangan nafkah lahir dan batin sangat berpengaruh terhadap ketemtraman rumah tangga? Dalam penelitian inilah akan menguraikan bagaimana pengaruh kadar nafkah dalam membina keluarga sakinah, keluarga yang kekal harmonis dan sejahtera.

B. Rumusan Masalah

Dalam pembahasan ini, agar lebih mengarah dan memenuhi target yang diinginkan maka penulis membuat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pemahaman mengenai nafkah?
  2. Mengetahui dasar hukum nafkah
  3. Memahami makna keluarga sakinah
  4. Bagaimana membentuk keluarga sakinah
  5. Pengaruh kadar nafkah untuk mewujudkan keluarga sakinah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Nafkah

  1. Pengertian Nafkah

Nafkah berasal dari bahasa arab النفقة artinya المصروف والانفاق yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang.[3] Dalam madzahib al arba’ah disebutkan النفقة في اللغة الاخراج yaitu pengeluaran[4] Sedangkan menurut istilah nafkah adalah kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dalam menyediakan makanan, tempat tinggal, pembantu, dan obat-obatan, apabila suaminya kaya[5]. Ditinjau dari makna lughowinya, nafkah merupakan makna yang sempit yang tidak mencakup semua fungsi dari sebuah pernikahan. Namun dari makna istilah nafkah merupakan hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan tanpa adanya usaha yang maksimal.

Dari pengertian tersebut diatas seolah-olah nafkah hanya merupakan pemenuhan kepada istri dalam bidang materi. Namun lebih dari itu nafkah terbagi menjadi dua yaitu nafkah lahir (materi) dan nafkah bathin (seks)[6] atau hubungan biologis. Imam Malik mengatakan bahwa nafkah tidak wajib bagi suami sampai ia dapat mengajak untuk dukhul (wathi, jimak).[7] Oleh sebab itu hal terpenting yang harus dilakukan seorang suami bagi istrinya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya adalah memberikan nafkah terhadap keluarga. Suami yang baik selalu memerhatikan masalah ini. Dia tidak akan menyia-siakan amanah yang sekaligus menjadi kewajibannya. Maka sudah menjadi tanggungjawab suami untuk menafkahi istri secara lahir ataupun batin.[8]

  1. Dasar Hukum Nafkah

Al Qur’an

*... ... 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4... ÇËÌÌÈ

Artinya: ... ... dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya ... ... (Q.S Al Baqarah : 233)[9]

£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4... ... ÇÏÈ

Artinya: ” tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, … (Q.S At Thalaq : 6)[10]

÷,ÏÿYãÏ9 rèŒ 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuŠy ª!$# y÷èt/ 9Žô£ãã #ZŽô£ç ÇÐÈ

Artinya: “ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Q.S At Thalaq: 7)[11]

Dalil-dalil tersebut diatas merupakan dasar kewajiban nafkah secara lahiriyah (materi) yang harus diberikan oleh seorang suami (atau ayah) untuk keluarganya (istri dan anak) dengan cara yang ma’ruf sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya. Kemudian sehubungan dengan nafkah secara bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai berikut;

... ... 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 ... ... ÇÊÒÈ

Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ... ... (Q.S Al Nisaa’: 19)

Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan optimal.[12] Dan juga akar kata Asyara yaitu ’isyrah’ (العشرة) adalah berkumpul atau bercampur.[13] Maka berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami istri seperti rasa saling terikat dan bertautan. Karena dalam syariat islam antara suami istri diwajibkan untuk bergaul dengan sebaik-baiknya, tidak diperbolehkan menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak boleh saling membenci apalagi bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu dalam memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya yaitu maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara atau adab serta akhlaq yang baik.[14]

Hadist nabi

حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ [15]

Artinya: Hindun istri Abu Sofyan berkata pada Rosulullah, Ya Rosulallah sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang amat bakhil, tidak memberiku nafkah yang bisa mencukupiku dan anakku kecuali apa yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini dosa bagiku? Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi dirimu dan anakmu.

  1. Pendapat Fuqoha’ Mengenai Kadar Nafkah

Nafkah adalah pintu sebuah keberkahan dalam rumah tangga. Dasar kewajiban suami memberikan sesuai dengan Al Quran dalam surat Al Baqarah : 233, “…Dan, kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”[16] Namun daripada hal tersebut, suami tidak boleh seenaknya memperlakukan istri dengan semaunya sendiri, memberikan nafkah dengan semaunya walaupun sebearnya dia mampu.

Nafkah sebagai tanggungjawab suami kepada istrinya harus terpenuhi dengan sempurna sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai mana dijelaskan dalam al qur’an surat at thalaq ayat 7 yang artinya “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya”. Dari ayat tersebut Qurai Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa suami memberikan nafkah sesuai dengan kadar kemampuanya, sehingga istri tidak diperbolehkan menuntut lebih dari apa yang dimiliki oleh suami sehingga nantinya mengakibatkan suami itu sampai mencari nafkah dari jalan yang tidak direstui oleh Allah.[17]

Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’ tetapi suami wajib memenuhi keperluan-keperluan istrinya seperti makanan, lauk-pauk, daging, sayur, buah-buahan dan keperluannya yang lazim, sesuai dengan tempat dan keadaan serta selera orangnya. Imam Malik juga sependapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’ akan tetapi diruju’ pada kebutuhan suami dan istri.[18] Namun Syafi’iyah berbeda, kadar nafkah itu tertentu,[19] mereka beralasan dengan ayat al qur’an surat at thalaq : 7. “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”.

Allah mewajibkan pemberian nafkah, namun tidak menetapkan jumlah kadarnya secara jelas, namun Imam Syafi’i menetapkan kadar tersebut dengan dasar/jalan ijtihad dan ukuran yang terdekat. Bagi orang yang kaya (al musir) adalah 2 mud, bagi orang sedang (al ausath) adalah 1,5 mud, dan bagi orang lemah/kurang mampu (al mu’sir) adalah 1 mud.[20] Dengan kadar makanan yang digunakan untuk membayar kafarat, karena makanan itu untuk menghilangkan lapar. Kafarat itu paling banyak adalah dua mud, dan sekurang-kurangnya satu mud.[21]

B. Tinjauan Keluarga Sakinah

  1. Pengertian Keluarga Sakinah

Keluarga dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan ibu, bapak dengan anak-anaknya, seisi rumah; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, batih, sanak saudara dan diartikan juga dengan satuan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat.[22] Dalam literatur Al Qur’an keluarga diistilahkan dengan kata ahlu (الاهل ) jama’nya ahluna dan ahal (اهلون, اهال) yang mempunyai makna famili, keluarga dan kerabat.[23] Sebagaimana ayat al qur’an

öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ

Artinya: ”dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”. (Q.S. Thoha : 132)

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S Al Tahriim: 6)

Selain itu keluarga diartikan dengan suatu matriks sosial atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual, dimana anggota keluarga terikat dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan terbelenggu.[24] Dan sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebagahagiaan, kecintaan dan kasih sayang.[25] Adapun sakinah dalam bahasa arab diartikan dengan tenang, ketenangan, dan diam.[26] Sebagaimana disebutkan dalam ayat al qur’an sebagai berikut:

§NèO tAtRr& ª!$# ¼çmtGt^Å3y 4n?tã ¾Ï&Î!qßu n?tãur šúüÏZÏB÷sßJø9$# ... ... ÇËÏÈ

Artinya: ”Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, ... ... (Q.S Al Taubah: 26)

Menurut Rosyid Ridlo sakinah adalah sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenagan dan merupakan ketenangan dan merupakan lawan dari kegoncangan batin dan kekalutan. Sedangkan menurut Al Jurjani sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya suatu yang tak diduga, yang dibarengi suatu nur (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan dan ketentraman pada yang menyaksikannya. Dan menurut Roghib Al Isfahan antara lain mengartikan sakinah dengan tidak adanya rasa gentar dalam mengahadapi sesuatu.[27]

Adapun sebuah keluarga itu bisa dikatakan dengan keluarga yang harmonis/bahagia dan sehat adalah diantaranya harus tercakup didalamnya enam (6) kriteria, [28] sebagai berikut:

    1. kehidupan beragama dalam keluarga
    2. mempunyai waktu untuk bersama
    3. mempunyai pola komuniksai yang baik bagi sesama anggota keluarga (ayah-ibu-anak)
    4. saling menghargai satu sama lainnya
    5. masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai suatu kelompok
    6. apabila terjadi suatu permasalahan dalam keluarga akan mampu menyelesaikan secara positif dan kontruktif.

  1. Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah

Keluarga sakinah merupakan dambaan setiap suami istri atau mereka yang telah melangsungkan pernikahan, serta menjadi esensi dan tujuan pernikahan, selain itu merupakan pilar pembentukan masyarakat ideal yang dapat melahirkan keturunan yang sholeh.[29] Sehingga untuk memperoleh predikat keluarga sakinah diperlukan usaha sebagai berikut;

a. Niat Ikhlas

Pernikahan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar (basic demand) bagi setiap manusia normal, karena pernikahan merupakan sarana bagi seseorang untuk menyalurkan hasrat biologisnya secara sah dan legal bersama pasangannya. Saling mencurahkan rasa kasih sayang, namun bukan semata menyalurkan kebutuhan biologisnya saja, namun lebih jauh dari itu, bahkan ditinjau dari sudut religiusnya pada hakikatnya pernikahan merupakan salah satu bentuk pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT.

Pernikahan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas merupakan awal dari terwujudnya keluarga sakinah, yaitu keluarga yang senantiasa diliputi rasa kasih sayang serta saling menyadari eksistensi dan tanggungjawab masing-masing. Karena dengan niat yang ikhlas akan tumbuh dan menghasilkan keluarga yang baik dan sakinah sebagaimana tujuan pernikahan, dan juga sabda nabi yang berbunyi;

... إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى ...

Artinya: Bahwa segala sesuatu perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap sesuatu tersebut sesuai dengan apa yang diniatkan (niat yang menyertainya) ... (H.R. Bukhori)[30]

b. Kafa’ah

Kafa’ah atau sekufu berarti sama, setaraf, sederajat, sepadan, sebanding.[31] Sekufu maksudnya adalah antara suami dan istri tersebut sebanding dalam tingkat sosial, derajat, kedudukan harta dan juga akhlaq. Namun lebih ditekankan kafa’ah ini pada keseimbangan, keharomonisan dan keserasian utamanya dalam hal agama yaitu akhlaq dan ibadahnya.

Sehingga perlu diperhatikan tentang kafaah dalam membina keluarga sakinah. Dan dengan keseimbangan tersebut benar-benar membentuk keluarga yang endingnya menjadi keluarga sakinah, mawaddah warohmah.

c. Nafkah yang cukup

Nafkah juga merupakan sebuah faktor penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Kerap kali perceraian maupun percekcokan muncul akibat nafkah yang kurang dan tidak seimbang. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pemberian nafkah lahir dan bathin yang cukup dan seimbang merupakan penjagaan sebuah keluarga tetap tentram, harmonis penuh rasa kasih dan sayang.

Karena seperti yang dikatakan Syeikh Taqiyuddin “Timbulnya bahaya bagi istri dengan tidak disetubuhi suaminya bisa menjadi alasan untuk meminta cerai kapan saja dan bagimanapun keadaannya, baik sang suami melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak sengaja. Walaupun sang suami mampu melakukan hal itu atau tidak. Terutama mengenai alasan nafkah.[32]

C. Pengaruh Kadar Nafkah

Tujuan pokok pernikahan adalah menciptakan kesenangan, keramah-tamahan dalam persekutuan serta kepuasan bersama.[33] Kemudian nafkah merupakan hal yang pokok dalam ikatan perkawinan, yang mana harus dipenuhi oleh seorang suami untuk istrinya. Dengan adanya nafkah beberapa kebutuhan bisa terpenuhi, maka dengan begitu dapat memperkecil peluang terjadinya perpecahan diantara keduanya. Sehingga tujuan pernikahan tersebut dapat terealisasi dengan baik dan sempurna.

Karena tidak sedikit angka perceraian yang terjadi di Indonesia disebabkan karena permasalahan nafkah, gugatan cerai sebab nafkah yang kurang memenuhi, dan juga belaian kasih sayang suami yang minim, nafkah lahir dan bathin-pun tidak terpenuhi secara maksimal, hal ini menyebabkan timbal balik rasa kasih sayang yang seharusnya menjadi hal yang urgent dan harus dipenuhi oleh istri berkurang.

Seorang suami dalam membina keluarga menjadi keluarga sakinah, keluarga yang harmonis, harus pandai mengaplikasikan pemberian nafkah dalam segala bentuk, menjaga dan melindungi istrinya dengan baik, serta memperlakukan dengan ma’ruf. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatka oleh Abu Hurairah dalam shohih Bukhori ... ...وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا... ... (…perlakukanlah istri-istrimu dengan baik … ) (HR. Abu Hurairah)[34].

Seorang suami wajib menginap dirumah dengan istrinya yang merdeka selama sekurang-kurangnya semalam dalam 4 (empat) malamnya, jika memiliki empat orang istri. Karena mungkin tiga istri yang lain juga memintanya. Namun Syaikh Taqiyuddin tidak menyepakatinya sebab keadaan sendiri (seorang istri) tidak bisa disamakan dengan keadaan ramai-ramai (empat istri).

Dalam islam juga diajarkan bahwa seorang suami diwajibkan menyetubuhi istrinya minimal empat bulan sekali, jika ia mampu dan istri memintanya. Karena Allah menetapkan empat bulan bagi suami yang menjatuhkan ‘Ilaa’ pada istrinya. Demikian dengan hak istri lainnya, Syeikh Islam Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kewajiban suami untuk menggauli istrinya disesuaikan dengan kemampuan istri dalam hal tersebut, serta tidak membahayakan suami.[35]

Suami dalam memberikan nafkah lahir juga disesuaikan dengan kebiasaan keadaan istri sebelumnya dan menurut kadar kemampuannya. Sehingga ketika nafkah (lahir dan bathin) tersebut kurang terpebuhi maka hal itu dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Sebagaimana perkataan Syeikh Taqiyuddin “Timbulnya bahaya bagi istri dengan tidak disetubuhi suaminya bisa menjadi alasan untuk meminta cerai kapan saja dan bagimanapun keadaannya, baik sang suami melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak sengaja. Walaupun sang suami mampu melakukan hal itu atau tidak. Terutama mengenai alasan nafkah.[36]


BAB III

PENUTUP

Allah SWT menciptakan makhluq-Nya secara berpasang-pasangan, saling mencurahkan rasa kasih sayang, saling membantu dan memberi. Sehingga pernikahan merupakan media sekaligus sebagai faktor yang signifikan dalam membangun nilai-nilai insaniyah. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 21, “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S Ar Ruum 21).

Keluarga merupakan ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan terbelenggu. Dan sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebagahagiaan, kecintaan dan kasih sayang. Dan keluarga sakinah merupakan tujuan yang paling penting dalam suatu pernikahan.

Nafkah adalah faktor penting dan sangat urgent sekali dalam membina sebuah keluarga agar tetap harmonis dan sejahtera. Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwasannya kadar nafkah dapat mempengaruhi sebuah kasih sayang dalam keluarga atau dalam pembentukan keluarga sakinah. Karena ternyata dengan nafkah lahir (materi) yang kurang dapat menimbulkan percekcokan sebuah rumah tangga, begitu pula nafkah bathin (non materi) atau kebutuhan biologis yang tidak teratur bahkan kurang juga mempunyai dampak yang dapat memutuskan sebuah ikatan pernikahan.

Oleh karena itu pemberian nafkah lahir (materi) maupun bathin (non materi) harus sesuai dengan usaha dan kemampuan yang maksimal dan juga teratur. Sebab kasih sayang istri yang diberikan pada suaminya juga tergantung pada pemberian nafkah lahir yang cukup dan juga nafkah bathin yang ideal. Sebagaimana dalam penjelasan yaitu untuk orang kaya (al musir) 2 mud, orang cukup (al ausath) 1,5 mud dan orang lemah (al mu’sir) 1 mud. Dan kebutuhan biologis minimal sekali dalam setiap empat malamnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002

Al Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002

Al Juzairi, Fiqih Ala Madzahib Al Arba’ah Juz IV. Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah. 1990

Dadang Hawari, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1999

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, t.p.,t.t.,

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islami. Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1994

Hammudah Abd. Al ‘Ati, Keluarga Muslim, t.p., t.t

http://adeetea.multiply.com/journal/item/49 04/10/2008

http://qultummedia.com/20070506148/Info/Manfaat-dan-Hikmah-Nafkah-untuk-Keluarga.html 04/10/2008

Ibnu Rusydi Al Hafid, Bidayatul Mujtahid dan Nihayatul Muqtashid Juz II, Beirut: Dar Ibnu Asshashah, 2005

M. Nashichin Al Mu’iz, Skripsi Usia Ideal Memasuki Dunia Pernikahan Sebuah Ihtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah. Tulungagung: STAIN, 2007. hal.40

Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majjah I, Kairo: Darul Hadist, t.t

Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Qurai Shihab, Tafsir Al Misbah Vol.14.

Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut: Darul Fikri, 2006. hal.539., lihat Al Hamdani, Risalah Nikah

Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007

تفسير القشيري - ج 1

صحيح البخاري - ج 16

صحيح مسلم - ج 9



[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, t.p.,t.t., hal.644

[2] Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majjah I, Kairo: Darul Hadist, t.t hal.592

[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif 2002,cet ke-20. hal.1449

[4] Al Juzairi, Fiqih Ala Madzahib Al Arba’ah Juz IV. Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah. 1990. hal.485

[5] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut: Darul Fikri, 2006. hal.539., lihat Al Hamdani, Risalah Nikah. Hal.144

[7] Ibnu Rusydi Al Hafid, Bidayatul Mujtahid dan Nihayatul Muqtashid Juz II, Beirut: Dar Ibnu Asshashah, 2005 Jilid 1-6. hal.44 (bab huququ al zaujiyah)

[9] Departemen Agama RI, Op.Cit. hal.38

[10] Ibid., hal.560

[11] Ibid.

[12] Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007. hal.327

[13] Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006. hal.682

[14] تفسير القشيري - ج 1 / ص 463

[15] صحيح مسلم - (ج 9 / ص 105

[17] Qurai Shihab, Tafsir Al Misbah Vol.14. hal.303

[18] Ibnu Rusydi Al Hafid, Op.Cit. hal.44

[19] Al Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. hal.152

[20] Ibnu Rusydi Al Hafid, Op.Cit. hal.44

[21] Ibid, hal.153, (satu mud kira-kira 6-7 ons beras)

[22] Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, t.t., hal.471

[23] Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit hal.46

[24] Dadang Hawari, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1999. hal.282

[25] Pengembangan Bahasa, Op.Cit. hal. 723

[26] Ahmad Warson Munawir, Op.Cit. hal.646

[27] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islami. Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1994. hal.202

[28] Dadang Hawari,Op.Cit. hal.215

[29] M. Nashichin Al Mu’iz, Skripsi Usia Ideal Memasuki Dunia Pernikahan Sebuah Ihtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah. Tulungagung: STAIN, 2007. hal.40

[30] Shohih Bukhori, Hadits No. 6195

[31] Ahmad Warson Munawir, Op.Cit. hal.1216

[32] Saleh Al Fauzan, Op.Cit. hal.686

[33] Hammudah Abd. Al ‘Ati, Keluarga Muslim, hal.225

[34] صحيح البخاري - ج 16 / ص 184

[35] Saleh Al Fauzan, Op.Cit. hal.686

[36] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar