Jumat, 22 Mei 2009

PRINSIP DAN TEORI HUKUM ISLAM


RESENSI BUKU "PRINSIP DAN TEORI HUKUM ISLAM KARYA M. HASYIM KAMALI"

Buku yang berjudul “Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam” ini berisi banyak hal yang berkaitan dengan teori-teori hukum islam, dalam pengantarnya juga telah disebutkan bahwasannya buku ini adalah hasil dari inovasi berbagai buku yang berkaitan dengan teori-teori hukum islam. Seperti “Ilm Ushúl al-fiqh” karya Abdul Wahab Kholaf, “Ushúl al-fiqh” karya Abu Zahrah, M. Al Khudhari, kitab “al mustafa min ‘ilm al ushúl” karya Al Ghazali dan lain-lain. Buku yang dikarang oleh M. Hasyim Kamali ini lebih menekankan pada teori pengambilan hukum dengan menjelaskan secara lugas masalah ushul fiqh sekaligus penerapan atau interpretasi pada masalah yang ada. Sedangkan buku-buku terdahulu cakupannya lebih mengarah pada sebagaian bahasan sehingga kurang merata dan representatif terhadap para mujtahid modern. Seperti halnya salah satu bidang saja yang dijelaskan secara detail sedang bidang lain sedikit terabaikan.
Pada buku ini dijelaskan pula kaidah-kaidah interpretasi, klasifikasi kata-kata, perintah dan larangan hingga implikasi tekstual terhadap berbagai permasalahan, sehingga cukup menarik dan memberikan wacana baru bagi para pembaca maupun penggali hukum islam. Sebagai contohnya
...

pengetahuan tentang kaidah interpretasi mengenai lafadz ‘ámm, khas, mutláq maupun muqayyad yang relevan dengan permasalahan hukum modern sangatlah dibutuhkan oleh para penggali hukum, oleh karena itu sangatlah tepat dan baik kiranya buku ini untuk dijadikan bahan rujukan.
Buku ini pula menekankan kajiannya pada bahasan ushul fiqh secara gamblang berikut contoh interpretasi penggalian hukum dari berbagai permasalahan. Sebab ushul fiqh merupakan suatu alat penting dalam menginterpretasikan nas-nas Al Qur’an maupun Al Hadist terhadap permasalahan yang ada. M. Hasyim Kamali dalam menjelaskan ushul fiqhnya menggunakan dua pendekatan, pertama pendekatan teoritis dan kedua pendekatan deduktif, yang keduanya memiliki perbedaan pada orientasi hukum dari pada subtansi hukumnya. Penggabungan dua metode ini juga tercermin dalam kitab “Badi’ Al Nizaam Al Jami Bayn Ushul Al Bazdawi wal Ihkam” yang mana sebagai bahan rujukan beliau juga.
Dalam pembahasan Adillah Syar’iyyah, M. Hasyim Kamali mengklasifikasikan sumber hukum dengan sumber hukum mustaqil (berdiri sendiri) dan muqayyad (yang disandarkan). Tiga sumber hukum yaitu Al Qur’an, Al Hadist dan Ijma’ sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri sedangkan Qiyas adalah sumber hukum yang dikaitkan dengan dalil lain karena Qiyas membutuhkan justifikasi dalam bentuk illat sehingga otoritasnya masih bersumber dari tiga sumber hukum tersebut. Namun Ijma’ yang masih diperdebatkan apakah mustaqil ataukah muqayyad beliau lebih condong pada muqayyad dengan alasan ijma’ telah ditetapkan sehingga sudah tidak lagi membutuhkan sanad.
Begitu pula terhadap sumber hukum sunnah, As Syatibi dan As Syawkani berpendapat bahwa sunnah adalah mustaqil (berdiri sendiri) dengan dasar dalam Al Qur’an Allah memerintahkan untuk mentaati rosulnya, ketaatan ini khusus setelah ketaatan terhadap Allah sehingga memperkuat bahwa taat pada nabi kapan saja saat memerintahkan. Jika pemahaman taat pada nabi hanya sekedar penjelasan Al Qur’an maka cukuplah dengan redaksi taat pada Allah saja. Namun Imam Syafi’i berbeda pendapat, taat pada nabi berarti mentaati beliau dalam kapasitas sebagai rasul, sehingga seluruh hukum dan legislasi kenabian bersumber hanya dari Allah semata.
M. Hasyim Kamali tidak lagi membagi bentuk ayat Al Qur’an dengan istilah Qath’i-Dhanniy, ‘Am-Khas, Mutlaq-Muqayyad namun hanya cukup dengan dua kategori yang mencakup kesemuanya kategori-kategori tersebut, yaitu pertama ayat yang definitif dan ayat yang spekulatif. Definitif maksudnya tidak ada lagi penafsiran lain dari teks ayat tersebut, misalnya hak seorang suami atas harta istrinya yang telah meninggal adalah separoh (Q.S An-Nisaa’ : 12), sedangkan spekulatif artinya adalah ayat yang masih membuka kemungkinan adanya penafsiran oleh para mujtahid. Sebagai contoh adalah nas Al Qur’an yang berbunyi : “Dilarang bagi kamu ibu-ibu kamu, saudara perempuan-perempuan kamu…” (Q.S An Nisaa’ 23). Nash tersebut adalah definitif dalam kaitan larangan mengawini ibu dan saudara, namun menjadi hal yang spekulatif bila kita cermati dari lafadz Banátukum (saudara-saudara perempuan kamu), apakah anak perempuan yang lahir dari seorang melalui perkawinan ataukah termasuk diluar perkawinan?
Disini para Fuqaha’ berbeda pendapat, mana yang harus diterapkan. Ulama Hanafi lebih cenderung menetapkan larangan menikah dengan anak yang tidak sah (tidak melalui perkawinan) sementara ulama Syafi’i anak perempuan yang tidak sah adalah tidak dilarang, karena nash itu hanya menunjuk pada anak perempuan hasil perkawinan yang tidak sah, akibat hukumnya anak perempuan tidak sah tidak memiliki hak kewarisan, ketentuan-ketentuan pemeliharaan dan perwalian tidak berlaku bagi dirinya.
Pada kaidah interpretasi yang kedua, M. Hasyim Kamali menjelaskan secara rinci antara pendapat Syafi’i dan Maliki, yang keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami dan memaknai sebuah nash Al Qur’an maupun Al Hadist, sehingga jelas bagi para pembaca untuk menggunakan implikasi-implikasi tekstual dalam menginterpretasikan makna sebuah ayat atau nash.
Sebagai contoh dalam memaknai ayat 145 surat an nisaa’, yang secara garis besar memiliki makna kebolehan seluruh makanan secara umum kecuali bangkai dan darah yang mengalir (daman masfúhan) bukan berarti darah yang tidak mengalir itu halal, karena kebolehan darah yang tidak mengalir seperti halnya hati dan limpa bukan atas dasar ayat ini melainkan adanya hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya sebagai berikut;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ (رواه ابن ماجة)
Namun dalam mendeduksikan mafhúm al-mukhálafah ulama Syafi’i memberikan beberapa syarat, antara lain tidak keluar dari lingkup dalálah mantúq, tidak keluar dari kedudukan semula karena alasan seperti takut atau tidak tahu, tidak bertentangan dengan suatu yang dominan dalam suatu masyarakat dan menjadi adat istiadat, dan nash asal tidak diturunkan untuk menjawab persoalan atau peristiwa khusus.
Penjelasan dan juga metode-metode tersebut memberikan pintu terang bagi para mujtahid modern untuk melakukan interpretasi dan ijtihad secara tepat. Menjadi inspirasi serta dukungan penelitian yang rasional dalam deduksi ahkám dari sumber-sumber wahyu Allah. Batasan-batasan yang diberikan bagi mujtahid telah cukup jelas, dimana ketentuan Al Qur’an dan Al Sunnah harus dipahami secara cermat dan tepat sehingga tidak menyimpang dari implikasi-implikasi yang sempurna.
Namun buku yang berjudul “Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam” ini masih memiliki beberapa kekurangan dalam beberapa hal, antara lain;
1. Dalam penggunaan ayat al qur’an tidak dilengkapi dengan teks ayatnya, mungkin menurut pengarang agar lebih simple dan efisien, akan tetapi lebih baik pada bagian tertentu yang sangat perlu dicantumkan teks ayatnya.
2. Kurang adanya konsistensi pada penulisan makna ayat, pada halaman 201 arti ayat ditulis sebagaimana pemikirannya sendiri padahal jelas dikutib dari arti sebuah ayat, sedangkan halaman 205 ditulis dengan aturan kutipan yang benar sebagaimana halaman 129 juga dll.
3. Dalam pencantuman teks hadist sebenarnya bagus, akan tetapi alangkah lebih baik jika dicantumkan perowinya, semua hadist yang dijadikan dukungan tidak ada yang dicantumkan perowinya.
4. Halaman 227 terdapat kesalahan pencantuman ayat, seharusnya ayat 110 surat Al-Imran, akan tetapi ditulis ayat 109 surat Al Imran, kemudian seharusnya juga pengutipannya diketik miring.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar